Prolog

8.2K 438 74
                                    


I don't think that I've been in love as such

although I liked a few folk pretty well

Love must be vaster than my smiles or touch

for brave men died and empires rose and fell

for love, girls follow boys to foreign lands

and men have followed women into hell

in plays and poems someone understands

there's something makes us more than blood and bone

And more than biological demands

for me love's like the wind unseen, unknown

I see the trees are bending where it's been

I know that it leaves wreckage where it's blown

I really don't know what I love you means

I think it means don't leave me here alone

--Dark Sonnet by Neil Gaiman

--Dark Sonnet by Neil Gaiman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Darien menatap laut yang terhampar luas dihadapannya. Udara sore laut yang bercampur air dan garam jelas memberikan kesegaran pada kulitnya yang lebih sering diterpa debu dan asap perkotaan. Dia merasa bebas. Bebas dari kesibukan kota dan bangsawan-bangsawan menyebalkan yang selalu mengatur hidupnya.

Perlahan tangannya meraih sebuah loket kecil yang tergantung di lehernya. Senyuman seorang wanita muda berambut merah menyambutnya saat ia membuka loket itu. Wajah Sabine, mediang istrinya, mengintip dari dalam loket. Sekalipun lima tahun telah berlalu sejak kematiannya, Darien tetap merasa tak ada yang dapat menghapus atau menggantikan sosok wanita itu dalam kehidupannya. Dia akan terus mengenang dan merindukan wanita itu.

Seandainya saja wanita itu masih mendampingi dirinya, jelas sekali wanita itu akan menggelengkan kepala sambil berdecak kesal saat mendengar keputusannya. Bagaimanapun juga keputusan yang diambilnya kali ini jelas bertentangan sekali dengan gaya hidupnya selama ini. Tidak hanya itu wanita itu pasti akan memutar bola matanya dengan gaya meremehkan dan menyuruhnya melupakan keputusannya itu. Mau tak mau Darien tertawa membayangkan reaksi mediang istrinya.

Tapi keputusan Darien sudah bulat. Ia tak bisa lagi menjalani kehidupannya di Roselan, kota yang menjadi saksi hampir tiga puluh tahun penuh masa kehidupannya. Dia sudah muak berhadapan dengan orang-orang yang mengaku berasal dari kaumnya. Orang-orang yang berusaha mengatur seluruh kehidupannya.

"Hati-hati dengan lautan, nak! Sekalipun kau hanya menatapnya, bukan berarti mereka tak dapat menenggelamkanmu!" seruan seorang awak kapal yang tampak telah sangat berumur segera menyentakkan Darien dari lamunannya. Untuk pertama kali, sejak ia menaiki kapal itu seseorang menegurnya.

Darien melontarkan senyuman ramah ke arah pria itu. Pria tua itu membalas senyumnya dan berjalan mendekat. Darien sama sekali tak dapat menjabarkan dari daerah mana pria itu berasal, tapi pria itu pasti tidak berasal dari Roselan. Tak ada orang asing yang akan menegurmu di Roselan. Bahkan mereka tidak akan menegurmu jika mereka tidak benar-benar mengenalmu.

"Bagaimana cara lautan menenggelamkan kita jika yang kita lakukan hanya memandanginya? Memandangi bukan berarti melompat ke dalamnya, kan?" tanya Darien sekedar berbasa-basi.

"Tubuhmu mungkin tak melompat, tapi pikiranmu telah meninggalkan tubuhmu dan menghambur ke arah deburan ombak yang mengiringi kapal ini. Hanya tinggal masalah waktu saja sampai mereka menenggelamkanmu, dan ketika saat itu tiba, kau akan menemukan dirimu berakhir seperti diriku, mencintai laut hingga rasanya aku tak dapat lagi hidup di daratan," ujar pria itu sambil tersenyum pada lautan. Darien mau tak mau kembali tersenyum mendengar kata-kata pria tua itu.

"Jadi apa yang membawamu ke Vitum, anak muda?" tanya pria itu setelah beberapa saat. Darien menatapnya dengan tatapan bingung.

"Vitum adalah pulau terpencil yang bahkan keberadaannya pun tidak dapat kalian lihat dari Roselan. Yah, setahuku bahkan sebagian besar penduduk Roselan tidak tahu bahwa ada sebuah pulau yang bernama Vitum di dekat Roselan. Jadi apa yang membawamu ke pulau terpencil itu?"

"Dari mana anda tahu bahwa saya berasal dari Roselan?" tanya Darien penasaran. Pria itu tertawa.

"Hanya orang dari Roselan yang berbau seperti lautan tapi memiliki kulit sepucat kertas. Kalian terlalu sering menghabiskan waktu di dalam rumah dibanding lautan yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah kalian." Kali ini giliran Darien yang tertawa. Bagaimanapun tebakan pria itu memang tepat.

"Saya ke sana untuk memenuhi panggilan tuan tanah Morbos yang mencari tabib untuk melayani di desanya. Saya rasa mereka sedang kekurangan tabib ..." ujar Darien sambil lalu. Pria menatapnya dengan heran selama beberapa saat.

"Kau seorang tabib?" tanya pria itu tak percaya. Darien menjawabnya dengan anggukan.

"Apa kau punya masalah di Roselan, anak muda? Klinikmu serat pasien atau kau sedang dililit hutang di kota itu dan memutuskan untuk melarikan diri ke Vitum saat kau mendengar mereka membutuhkan tabib?" tanya pria itu lagi. Kini justru Darien yang menatap pria itu dengan heran.

"Klinik saya cukup ramai saat saya meninggalkannya dan saya rasa saya tidak memiliki kesulitan keuangan yang cukup berarti yang dapat membuat saya berhutang dengan orang lain," jelasnya singkat. Pria itu kembali menatapnya heran.

"Jadi kenapa kau ke Vitum? Kau tak punya masalah apapun dan kau masih sangat muda. Apa yang membawamu ke Vitum?" tanya pria itu lagi.

"Seperti yang saya katakan, saya merasa mereka kekurangan—"

"Mereka tidak pernah memiliki seorang tabib yang melayani di desa mereka. Pulau itu tak membutuhkan seorang tabib." Potong pria itu cepat.

"Tapi tuan tanah Morbos sendiri yang—"

"Morbos tidak butuh tabib, anak muda. Entah apa yang membuat, tuan tanah yang kau sebut itu mencari seorang tabib, tapi mereka tidak membutuhkan tabib. Mereka bahkan tidak percaya dengan kemampuan tabib!" ujar pria tua itu tegas.

Darien terdiam di tempatnya setelah mendengar kata-kata itu. Pria tua itu memberikan tepukan ringan di bahunya sejenak, membuang ludah ke arah lautan dan kemudian berjalan menuju kabin kapal tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi.

Darien hanya menatap punggung pria tua itu dalam diam. Ia harus mengakui bahwa ia sama sekali tidak mengetahui apapun mengenai Vitum, tapi kenyataan itu pulalah yang membuatnya ingin menerima panggilan dari pulau itu. Ia menginginkan pengasingan, dan ia merasa Vitum adalah tempat yang tepat baginya karena ia merasa tak akan ada orang yang akan mencarinya ke pulau terpencil itu. Tempat di mana ia bisa memulai kembali kehidupannya dari nol. Jauh dari politik dan kemunafikan para bangsawan yang selalu menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Sekali lagi ia melontarkan tatapannya ke arah langit di sebrang lautan. Perlahan namun pasti matahari mulai menghilang dan kegelapan serta kabut mulai menyelimutinya. Ketenangan malam seketika memantapkan hatinya. Darien menggosokkan kedua tangannya dan menciptakan pendaran cahaya hangat yang memberi sedikit penerangan di dek kapal yang gelap dan berkabut itu.

Darien mendekatkan kedua telapak tangannya itu ke muka dan dalam satu tarikan nafas ia menghirup seluruh cahaya yang berpendar dari tangannya.Kehangatan perlahan menyelimuti tubuhnya, dan saat ia menghembuskan nafas, uap bercahaya tampak keluar dari mulutnya. Tubuhnya kini telah bersih dari seluruh udara kotor Roselan, dan dia siap menerima udara baru yang ditawarkan lautan menuju Vitum. Udara yang akan menjadi teman hidupnya mulai saat ini.

Ilustrasi: The Ship by Akpelan

Video: Arwen's Vigil by The Piano Guys

The Healer [Canceled Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang