Satu

10.4K 476 13
                                    

Semua ini sudah menjadi pilihan kedua orang tuanya. Memasukkannya ke Pesantren yang jauh dari kebisingan kota. Membiarkan ia menghabiskan masa mudanya jauh dari orangtua. Bahkan pada bulan-bulan awal menjadi seorang santriwati di pesantren itu, membuatnya amat jenuh dan ingin kabur. Entahlah. Sudah banyak pikiran-pikiran gila serta rencana cerdik yang ia lakukan demi pergi dari tempat berdinding tinggi menjulang itu.

Gadis itu layaknya gadis remaja pada umumnya. Masih merambah dunia dengan pandangan polosnya. Mencoba hal-hal baru dalam hidup. Merasakan berbagai macam perjuangan hidup jauh dari kedua orang tua yang amat sangat ia sayangi. Fatma Munawaroh. Gadis keturunan Turki-Indonesia itu memang manis, cantik dengan bola mata coklat lebarnya. Apalagi cekungan kecil di pipi tiap kali ia tersenyum. Gadis yang cerdik. Berkali-kali memikirkan rencana agar ia tak bosan tinggal di pesantren itu.

"Hahh. Aku lelah." ucapnya sembari mengambrukkan tubuhnya di atas kasur lipat miliknya.

"Rencana apalagi?" tanya ketua keamanan pesantren putri yang sekamar dengannya.

"Mmm.. Apa ya, Mbak? Mbak Firda ada ide nggak?" candanya sembari menunjukkan wajah yang menurut Firda 'sok imut' itu.

"Hiih. Kamu ini. Udah berkali-kali dihukum tetep aja nggak kapok. Sampe kamu tu diapali Bu Nyai karena paling sering terlibat masalah kabur-mengabur. Nggak capek kamu, Fat?"

"Kan cuman mencoba, Mbak. Nggak kabur beneran kok. Eh, maksudku...belum."

"Ck. Lagian kamu mau kabur kemana? Nggak ada celah buat kabur dari sini."

"Hiih. Mbak Fir, nakutin banget ngomongnya. Kayak sini penjara aja. Eh, iya sih, hampir mirip."

"Sini mah penjara akhlak, Fatma. Biar jadi orang yang lebih baik. Udah beruntung orang tuamu ngirim kamu ke sini. Lhah aku? Ayahku malah ngelarang keras aku buat ke sini, Fat. Aku harus mati-matian minta izin dari ayahku sampe akhirnya ayah bilang setelah aku pulang ke rumah, aku harus mau dijodohin sama anak temennya ayah. Jadi, kamu tu harusnya bersyukur banget bukannya malah main kabur-kaburan gini. Gitu. Fat? Fatma? Yaa Allah ! Aku cerita panjang lebar malah ditinggal tidur. Hhh." Firda meninggalkan Fatma yang tertidur di tengah Adzan Dhuhur.

Pondok Pesantren itu terletak di selatan pulau Jawa, tepatnya di tengah hamparan sawah hijau nan sejuk. Pondok santri putra dan putri dibatasi tembok tinggi besar berbahan dasar semen. Meminimalisir kejadian terburuk yang mungkin akan terjadi. Hanya sebuah masjid megah yang digunakan untuk sholat berjamaah dan kegiatan malam Jumat.

"Fatma, kok belum siap-siap? Bentar lagi kegiatan di masjid lho." tanya Firda sembari menyematkan bros di kerudung abu-abunya.

"Malas, Mbak." Fatma hanya berbaring di atas tempat tidur sembari membolak-balik novel yang mungkin sudah puluhan kali ia baca.

"Hhh, yaudah deh. Yang penting aku dah ngajak. Aku ke masjid duluan ya. Ikut kegiatan lho, Fat." Fatma masih bertahan pada posisinya. Tak beranjak dari tempat tidur untuk mengikuti kegiatan. "Hhh. Aku malas. Aku bolos aja deh. Eh iya, pondok kan mesti sepi soalnya baru kegiatan. Aku jalan-jalan keliling pondok aja deh." Ide gila itu muncul lagi. Entah sudah kali keberapa Fatma membolos kegiatan malam Jumat.

Fatma memakai jilbab segi empatnya. Cepat, simple, dan rapi. Pondok putri sudah sepi. Semua santriwati sudah berada di masjid untuk mengikuti kegiatan malam Jumat. Hanya Fatma yang belum berangkat ke masjid. Ehm, bukan belum, tapi tidak. Untuk kesekian kalinya, tidak ikut kegiatan malam Jumat.

Fatma berjalan mengitari pondok putri, hingga tiba di taman belakang. Ia heran. Sudah hampir 1 tahun ia di sini, rasanya belum pernah ia mengunjungi taman belakang itu. Hamparan sawah hijau. Tempat itu cukup terang, memiliki tiga buah lampu taman dan kursi panjang yang basah karena hujan lebat tadi sore.

"Aneh. Baru kali ini aku lihat ada taman belakang. Aku dah lumayan jauh dari kompleks pondok putri. Kayaknya nggak ada yang tau kalo aku di sini. Hmmh. Tenangnyaa." gumam Fatma sembari merentangkan kedua lengannya.

"Ngapain di sini? Nggak kegiatan?" Sebuah suara memecah keheningan di tempat itu. Suara bariton yang khas dan terdengar amat lembut. Fatma menoleh, mencari sumber suara. Tampak di kursi taman seorang lelaki bersarung hijau duduk sembari membaca buku.

Lhoh. Bukannya semua santri putra juga ikut kegiatan ya? Kok ada dia? Batin Fatma.

"Kok nggak kegiatan kenapa?" Ia mengulang pertanyaannya, kali ini sedikit lebih keras.

"Eh..emm..Lhah Mas kan juga nggak ikut kegiatan. Kenapa?" jawab Fatma yang sedari tadi berusaha agar dirinya tak ketauan sedang membolos kegiatan.

"Faqih Ramadhan."

"Ha? Maksudnya?"

"Aku punya nama. Faqih. Jadi, manggilnya jangan mas. Kaya' aku dah tua aja." Fatma hanya mengangguk. Menunggu jawaban selanjutnya dari lelaki itu. "Aku baru nggak enak badan. Jadinya izin. Lhah kamu? Kenapa nggak kegiatan? Bolos?" lanjutnya.

"Ehm..Soalnya.." Suara gesekan sandal dengan tanah memotong ucapan Fatma. Haduh ! Gimana ini? Ada Pak Kyai ! batin Fatma.

"Sembunyi di kamar mandi itu. Kalo kita ketauan berdua, bisa dihukum. Aku nggak mau dicap buruk sama santri lain." ucap Faqih.

Aneh. Lelaki itu nggak ada rasa takut-takutnya. Ngomong sama aku aja sambil terus baca buku, batin Fatma. Tanpa ba-bi-bu ia langsung berlari kecil ke arah kamar mandi di pojok taman itu.

"Hhh. Masa' iya aku di sini terus selama kegiatan? Aku harus gimana nih? Mana ada Pak Kyai lagi." Fatma terus menunggu di dalam kamar mandi remang-remang itu. Berkali-kali kulit putihnya dihinggapi nyamuk. Berkali-kali ia mengintip ke arah taman. Faqih masih di sana. Berbicara dengan Pak Kyai. Tampaknya beliau menanyai Faqih mengapa tidak mengikuti kegiatan.

"Harus berapa lama aku nunggu?" gumam Fatma sembari mengibas-ibaskan tangan agar nyamuk tak menggigitnya.

"Beliau dah pergi. Keluar aja." ucap Faqih sedikit berbisik. Fatma keluar dari persembunyiannya.

"Ini dah jam setengah 10. Pasti bentar lagi kegiatan udah selesai. Di masjid juga udah doa. Kamu mau ketahuan bolos kegiatan?" kata Faqih tak mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.

"Eh, iya. Aku balik dulu. Assalamualaikum." Sejurus, tanpa bertele-tele, Fatma langsung kembali ke kamarnya. Meninggalkan lelaki bersarung hijau itu.

***

Hai hai.. Assalamualaikum..

Terima kasih udah mau baca cerita (aneh) ini..

Jangan lupa bintang-bintangnya yaa.. Makasih..

by: L-Safina

#1. Cintaku Terhalang Dinding PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang