EXTRA PART

3.5K 163 12
                                    

Hai, hati.. Apa kabarmu hari ini ? Masihkah namanya tertempel rekat di sana ? Hai, hati.. Bagimana kabarmu hari ini ? Masihkah namanya menduduki singgasana di sana ? Hai, hati. Yang pasti, aku tak cukup yakin. Apakah rasa itu masih ada atau tidak.
***

Fatma berlari menuju kamarnya setelah Faqih dan ayahnya pamit untuk pulang. Ia kunci pintu kamarnya rapat-rapat lalu mengambrukkan dirinya di atas kasur, menangis.

Aku harus bagaimana ? Dengan pertanyaannya barusan, aku... aku bimbang, batinnya.

"Maaf.. Saya.. Saya tidak bisa menerima lamaran Faqih." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Fatma saat itu. Faqih diam, Fatma pun diam. Tak ada yang berani menyela pikiran mereka saat ini. Faqih tak kuasa untuk menanyakan alasan Fatma menolak lamarannya.

Apa Fatma masih belum bisa melupakan Mas Ridwan ? Pikirnya.

Pintu kamar Fatma yang semula tertutup, kini terbuka. Ayahnya memasuki kamarnya lalu duduk di sampingnya. "Nduk, kenapa?" tanya ayahnya.
"Fatma masih bingung, Yah. Fatma belum siap menikah." jawabnya singkat.
"Kamu dah 27 tahun lho. Kalau tidak disiapkan, kapan bisa siapnya?" jelas ayahnya.
Hhh.. Ayah selalu bisa membuatku berpikir berulang kali, batinnya. Fatma hanya diam. Tak bisa menjawab satu kata pun. Pikirannya kalut dan semrawut.

Sementara di sisi lain, di sebuah mobil berwarna hitam, Faqih masih diam. Semenjak Fatma mengucapkan kalimatnya tadi, Faqih hanya terdiam. Merenungi setiap kalimat dari gadis yang ia lamar barusan. Menelusuri jalan pikirannya sendiri. Ke mana hati dan cintanya akan dibawa pergi, ia masih tak tau. Oleh siapa singgasana hatinya akan ditempati, ia justru semakin bimbang.
Sepertinya, lagi-lagi aku terlalu cepat bertindak, batinnya.

Handphonenya berbunyi. Tulisan 'Sekretaris Hasan' tertera di layarnya. "Ya? Waalaikumsalam. Ada apa, San?" Ia diam sebentar. Mendengarkan lawan teleponnya berbicara.
"Proyek di Jakarta ya? Mereka setuju? Baiklah. Segera urus persiapannya. Minggu depan, kita berangkat." jawabnya. Lalu ia mengakhiri percakapannya.
"Ada apa, Nak?" tanya Ayahnya sembari terus melihat jalanan di depannya.
"Proyek di Jakarta yang 2 bulan itu, Yah. Kayaknya Faqih bakal tinggal di sana." jawabnya.
"Selama itu ? Terus Fatma ?" tanya ayahnya.
"Kan sudah ditolak, Yah. Faqih bisa apa? Mungkin di Jakarta nanti, ada yang lebih baik. Mungkin memang dari awal bukan Fatma yang tepat untuk Faqih." jelasnya dengan nada putus asa. Ia tak tau harus bagaimana. Baginya, memang tak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Waktu 10 tahun memang sangat lama dan tak menutup kemungkinan bahwa Fatma memiliki cintanya yang lain.

***

Fatma menutup Mushaf Al-Qurannya, seusai nderes (muraja'ah), ia duduk di kursi meja belajar. Tepat di hadapannya, hamparan sawah hijau menyajikan keindahannya. Beberapa capung berterbangan ke sana ke mari. Orang-orangan sawah tersusun rapi berjajar-jajar. Gadis itu menerawang jauh ke birunya langit. Bernostalgia indah, masa-masanya di pesantren dulu. Perjuangannya, sahabatnya, dan cintanya.
Satu nama terlintas begitu saja di benaknya.

"Gus Zahid, bagaimana kabarmu di sana ?" lirihnya.

***
Assalamualaikum.. Ta raa.. Jeng jeng jeng.. Ini dia.. Extra part dari Cintaku Terhalang Dinding Pesantren. Tapi anggap saja ini batu loncatan ke Cintaku Terhalang Dinding Pesantren #2 *ceilah bahasanya, wkwk..

Diketahui : Judul : Nantikanku di  Batas Waktu
Ditanyakan : Kapan publish ?
Jawab : Tunggu saja, Kawan :) :)

Salam hangat,
L-Safina

#1. Cintaku Terhalang Dinding PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang