Tujuh

3.1K 218 0
                                    

"Maaf, Fatma. Aku emang sahabat yang paling jahat. Aku nggak pantas disebut sahabat. Maaf, Fat." Fatma tengah memeluk kedua lututnya. Membiarkan setiap luka menancap di batinnya. Membiarkan lehernya tercekat karena menahan keluarnya bulir bening itu. Mencoba menahan air itu keluar dari ke dua bola matanya.

Husna terus menerus mengucap maaf. Sementara Fatma masih terdiam sembari memeluk ke dua lututnya. Aku harus gimana, Yaa Rabb. Batin Fatma berteriak agar dia tak menangis. Ia belum bisa menerima semuanya. Tak bisa.

Masih teringat begitu jelas ketika Ridwan memberinya gulungan demi gulungan surat yang mampu membuat batinnya terpukau. Teringat amat jelas ketika mereka duet vocal hadroh. Teringat begitu jelas. Sangat jelas. Namun bagaimana bisa Husna, sahabat terbaiknya yang akan mendampingi masa depan Ridwan? Bagaimana mungkin?

"Yaudah, Fat. Aku pergi dulu. Kayaknya kamu butuh waktu buat sendiri. Aku juga belum siap-siap buat pulang. Aku keluar dulu, Fat." Husna meninggalkan Fatma yang masih meringkuk sendirian di pojok kamar.

Sayangnya, santri tetaplah manusia yang punya hati. Fatma tak sanggup menahan butiran air mata itu lagi. Tubuhnya mulai bergetar. Ia mulai terisak. Perih. Luka yang masih berdarah itu serasa ditaburi air garam. "Aku...harus gimana. Yaa Allah? Bagaimana menghapus semua rasa ini? Jika cinta itu rahmat, mengapa ia terasa begitu sakit?" ucap Fatma di sela-sela tangisnya. Ah, tak tau. Fatma masih terlalu lugu untuk mengikhlaskan semuanya.

Air mata itu sudah berhenti mengalir ketika kakakya, Reyhan, tiba-tiba menjemputnya. "Lhoh ? Mas Reyhan? Ada apa, Mas?" tanya Fatma.

"Kamu...pulang sekarang."

"Kenapa e, Mas? Kok tiba-tiba dateng ke pondok ngajak aku pulang?" Reyhan hanya menunduk. "Mas, kenapa ?" tanya Fatma, kali ini ia menggoyang-goyangkan tubuh Reyhan.

"Yang sabar ya, Dek. Sekarang, kita tinggal ber-3. Nggak ber-4 lagi." ucap Reyhan sembari memeluk adik kecilnya itu.

"Ken..kenapa?"

"Bunda." Fatma sudah mengetahui alasan Reyhan menyebut kata 'Bunda'. Bulir bening itu mengalir untuk kesekian kalinya. "Ini pasti mimpi kan, Mas? Ini nggak nyata kan? Bilang kalo ini cuman mimpi !" ujar Fatma sedikit membentak.

"Enggak, Dek. Ini nyata ! Kamu harus nerima semua ini. Kita harus belajar nerima, Dek. Udah. Kamu sekarang beres-beres, kita pulang sekarang." Fatma berlari ke kamarnya sembari menangis tentunya. Mengemas baju-bajunya.

Rumah Fatma sudah ramai. Banyak orang berlalu-lalang memakai baju hitam dan putih. Ada yang membawa nisan, kain kafan, dan menyiapkan keranda. Bendera putih sudah terpasang di depan gang rumah Fatma. Semua ini...nyata.

Wanita paruh baya itu terbujur kaku di ruang tamu. Banyak orang yang melingkar membacakan tahlil untuknya. Fatma salah satunya. Sembari sesekali mengusap air matanya yang tak mau berhenti. Sudah lebih dari 5 jam ia menangis. Mengapa air matanya tak habis-habis?

***

Halo hai.. 

Oiya, habis ini POVnya si Fatma. Selamat membaca.. Semoga suka..

Vote+comment ya.. Makasiihh..

by : L-Safina :)

#1. Cintaku Terhalang Dinding PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang