Enam

3.3K 230 1
                                    

Ujian Nasional telah selesai dilaksanakan. Faqih akan segera menjadi seorang mahasiswa. Mahasiswa di negara yang jauh di sana. Meninggalkan kenangan yang ada di pesantren ini. Meninggalkan separuh hatinya kepada gadis yang kini memberi hati kepada insan lain. Sudah ratusan kali Faqih mencoba untuk menyelinap keluar dari perasaan kepada gadis itu, Fatma. Tetapi, laiknya magnet, ada sesuatu yang tak ingin rasa itu pergi begitu saja.

Seusai pamit ke setiap santri putra dan sowan (izin) kepada Pak Kyai, Faqih membawa barangnya dan melangkah keluar dari gerbang pesantren. Untuk terakhir kalinya, ia menatap lekat-lekat pesantren itu. Tempat yang mampu merombak kepribadiannya. Tempat yang mempertemukan dia dengan gadis masa kecilnya. Tempat yang sudah menjatuhkan hatinya. "Pesantrenku.. Aku pasti akan merindukanmu." ucap Faqih lirih.

"Sahabatku !" Suara merdu gadis itu. Faqih menoleh, mencari sumber suara. Berharap agar ia dapat bertemu Fatma untuk terakhir kali. Berharap agar ia dapat mengucapkan selamat tinggal kepada gadis itu. Oh, hanya khayalan. Mungkin saat ini Fatma tengah berbunga-bunga karena mendapat surat baru dari Ridwan. "Sahabat terbaikku, aku pamit." gumam Faqih.

"Ayo, Nak." ucap ayahnya. Ia pergi. Jauh dari pesantren itu. Jauh dari berbagai alat hadroh yang ia gemari. Jauh dari kitab-kitab kuning dan tafsir Quran yang setiap hari ia pelajari. Jauh dari berbagai kegiatan selama di pesantren. Untuk kesekian kalinya, ia akan jauh dari Barbie masa kecilnya, Fatma Munawaroh. Entah apa alasannya untuk tak pamitan secara langsung dengan Fatma. Ia takut. Takut jatuh lagi. Hatinya takut. Bahkan Fatma tak tau jika Faqih akan pergi jauh darinya. Faqih tak bilang.

"Semoga keputusan ini adalah yang terbaik, Yaa Rabbii. Semoga dia bahagia dengan Ridwan. Semoga dia selalu menjaga hati dan dirinya." Faqih memasuki mobilnya. Mobil yang akan membawanya pergi jauh dari lingkungan pesantren.

**~~**~~**

Ridwan tengah membaca buku ketika Umar datang ke kamarnya.

"Wan, dipanggil Pak Kyai." ujar Umar.

"Yang bener kamu, Mar? Nggak bohong to?" Umar hanya mengangguk cepat. Ridwan segera memakai pecinya dan menuju ndalem (rumah) Pak Kyai. Rumah Pak Kyai memiliki model tradisional. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu jati. Pak Kyai tengah duduk di kursi tamunya sembari meminum secangkir kopi buatan sendiri.

"Assalamualaikum, Pak Kyai." Ridwan mencium tangan Pak Kyai.

"Waalaikumsalam. Rene, Le. Aku arep ngomong. (Sini, Nak. Aku mau bicara.)" Ridwan duduk bersimpuh di dekat meja tamu.

"Wonten napa, Pak Kyai? (Ada apa, Pak Kyai?)"

"Kowe arep tak jodhokne. (Kamu mau tak jodohkan)" Mendengar jawaban Pak Kyai, Ridwan kaget bukan main. Terlebih ketika disebutkan nama seorang gadis yang akan dijodohkan dengannya.

"Piye, Wan? (Gimana, Wan?)" Tanya Pak Kyai. Ridwan masih terdiam. Memikirkan perjodohan itu. Memikirkan seorang gadis yang kini singgah di hatinya.

"Wan?" panggil Pak Kyai. Ridwan bisa apa? Ia adalah seorang santri. Baginya, perintah Pak Kyai tak boleh dibantah. Ia harus menyanggupinya.

"Menawi niku sampun dados dhawuhipun Pak Kyai, nggih, kula purun. (Jika itu sudah menjadi perintah / permintaan Pak Kyai, iya, saya mau)." Ridwan menghela napas. Memikirkan keputusannya.

"Yaa Rabb, kenapa bisa gini? Apa ini takdirku yang sebenarnya?" Ridwan sudah kembali ke kamarnya. Terdiam di atas tempat tidurnya. Memikirkan gadis yang harus menempati singgasana hatinya. Gadis yang akan dijodohkan dengannya. Gadis yang sudah pasti memiliki akhlak baik. Gadis pilihan Pak Kyainya.

"Husna Hafidzatunnisa. Apa dia yang tertulis 'di sana' ? Lalu, Fatma bagimana?" Tak ada yang bisa menebak alur ceritaNya.

***

Halo.. Yay.. Udah part 6.. Ceritanya udah tak selesaikan kok, jadi tinggal copas ke sini. Jadi, nggak perlu lama-lama nunggu. Karena nunggu terlalu lama tu nyakitin *eh.

Vote+comment selalu diterima.. Thx..

by : L-Safina :) 

#1. Cintaku Terhalang Dinding PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang