Tiga

4.4K 253 4
                                    

Fatma duduk di teras kelasnya sembari membaca buku Biologi. Membiarkan siswi-siswi berlalu-lalang di depannya. Ini jam istirahat. Sebagian besar siswi melaksanakan sholat Dhuha di masjid sekolah. Karena Fatma sudah sholat sebelum berangkat sekolah, ia memilih untuk membaca buku saja di depan kelas.

"Fatma !! Fatma !!" Husna, sahabatnya, berteriak memanggil sembari berlari mendekatinya. "Ada...kabar...baguss." ucapnya di sela-sela nafasnya.

"Apa?" jawab Fatma tak memalingkan wajah dari bukunya.

"Ada sholawatan bareng di masjid."

"Ya..terus? Aku udah tau kok, Na. Jangan ganggu dulu deh. Habis ini kan ulangan Biologi. Nggak belajar?"

"Hiih, Fatma. Kamu kok nggak dong to? Itu artinya habis istirahat sampe pulang sekolah nggak ada pelajaran. Aaa, bahagianya. Nanti ke masjidnya bareng lho, Fat." Fatma menoleh sembari menunjukkan senyum kemenangannya lalu mengajak Husna masuk ke kelas karena bel sudah berbunyi.

Masjid sekolah sangatlah ramai. Berbagai alat hadroh sudah disiapkan di depan mimbar. "Lhoh, Husna. Bareng yang putra juga to?" tanya Fatma beberapa menit setelah ia melihat banyak siswa putra berkeliaran di sekeliling masjid. "He em. Kabar bahagia banget kan, Fat?" ucap Husna. Fatma hanya membetulkan kerudungnya yang sedari tadi terasa kurang nyaman. Tak lama setelah itu, rebana mulai dibunyikan oleh grup hadroh siswa putra.

"Allahumma sholli wasallim wabaarik 'alaih, wa'alaa alihi waashhaabih." Suara lembut dari microfon itu membuat jantung Fatma berdegup lebih cepat dari biasanya. Jujur saja, ia..tak pernah mendengar suara sebening itu. Menyejukkan hatinya. Berkali-kali ia mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa pemilik suara bening itu. Nihil. Terlalu banyak siswa yang menghalangi pandangannya.

"Husna. Tau siapa yang jadi vocal?" tanya Fatma.

"Biasanya sih yang jadi vocal namanya Mas Ridwan, kelas 12. Makanya ikut ekskul hadroh dong di pondok. Suaramu bagus lho, Fat. Kan emaneman (sayang) kalo punya bakat tapi nggak disalurin." jelas Husna.

Ooh.. Mas Ridwan. Kukira...dia. Eh ! Fatma menepuk-nepuk pipinya, memastikan bahwa pikirannya kembali ke jalan yang benar. Entah mengapa, suara barusan mengingatkannya pada kisah masa kecilnya. Seorang laki-laki bertubuh gembul yang sering ia panggil 'Sinchan' . Teman masa kecilnya sebelum ia pindah rumah dan berpisah dengan sahabat terbaiknya itu.

"Sinchan. Semoga kamu baik-baik aja. Suatu hari nanti, kita harus ketemu lagi, Sahabatku." gumam Fatma. Jelas saja jika ia takkan mungkin melupakan Sinchannya itu. Sinchannya yang selalu melindungi dia setiap teman lain mengerjainya. Bahkan Sinchannya rela pulang tanpa sandal karena sandal miliknya ia berikan kepada Fatma saat sandal milik Fatma dibuang ke kali oleh teman-teman. Mereka juga pernah makan siang bersama, membawa lauk sendiri-sendiri dari rumah. Fatma hanya mampu tersenyum geli mengingat masa-masa itu.

"Sinchan...sekarang kamu di mana? Aku dah kembali ke sini, ke kota ini." gumam Fatma.

Kegiatan Sholawatan bersama telah selesai. Semua siswa kembali ke kelas masing-masing. Bersiap untuk pulang ke pondok. Jarum pendek jam dinding sudah menunjuk angka 2. Fatma dan Husna tengah bersiap untuk pulang.

"Eh? Ini..apa?" gumam Fatma sembari mengambil sebuah kertas kecil yang tertempel di atas buku tulisnya. "Notes dari siapa?"

To : Fatma

Setelah mujahadah nanti malam, ketemu di taman belakang ya. ~F~

"Dari siapa ya? F? Apa mungkin ini..."

"Fatma ! Ayo ! Kamu mau ke kunci di sini?" teriak Husna. Fatma segera menempelkan kembali kertas itu di dalam buku tulisnya.

"Ndatengin. Enggak. Ndatengin. Enggak. Ndatengin. Yah.. Kok ndatengin?" Fatma mencabuti kelopak bunga melati yang ia petik di kebun sebelah madrasah. Pilihannya jatuh pada kata 'ndatengin' . Ia akan datang ke taman itu lagi.

Mbak Firda dah tidur. Nah, waktu yang tepat, batin Fatma. Ia memakai sandal yang bukan miliknya itu dan berjalan sembari tengok kanan-kiri mengaasi keadaan. "Biasa aja. Nggak usah kaya' maling." Pemilik suara bariton itu kini berada di hadapannya. Hanya berjarak sekitar 75 cm.

"Eh..mm..iya." celetuk Fatma kemudian menjaga jarak agar sedikit jauh dari Faqih.

"Aku cuman mau ngasih ini. Sandalmu bukan?" Faqih menyerahkan sepasang sandal ungu bergambar kupu-kupu.

"Ketemu ya? Alhamdulillah. Ketemu di mana?"

"Di deket parkiran. Kayaknya ada yang nggak sengaja nyampar sandalmu." jelas Faqih.

"Sandalmu...ini." Fatma melepas sandal milik lelaki yang kini tampak berwibawa dengan peci hitam bergaris emas itu. Faqih menerima sandalnya.

"Aku balik dulu ya. Takut ndak ada yang lihat." ucap Fatma kemudian berlalu meninggalkan Faqih. "Eh? Tunggu sebentar." Faqih memanggilnya.

"Apa?"

"Namamu..Fatma. Bener kan?" tanya Faqih. Fatma hanya mengangguk.

"Ini...dari temanku. Maksudku, kakak kelasku. Namanya..." ucap Faqih sembari menyerahkan segulung kertas putih. "Namanya..?" Fatma mengulang katakata Faqih yang terputus.

"Namanya...Ridwan ! Iya.. Ridwan." Entah karena apa, nama Ridwan terbesit di pikiran Faqih. Fatma hanya mengangguk lalu menundukkan pandangannya (lagi). Seusai berterima kasih, Fatma pergi meninggalkan Faqih yang masih berdiri di tempat itu.

"Semoga...dia suka. Ah, kenapa aku harus bilang dari Mas Ridwan?" gumam Faqih lalu kembali ke kamarnya.

Sementara di sisi lain, di kamar Fatma, gadis itu tengah membaca isi gulungan kertas itu. Menatapnya lekat-lekat. "Ini...dari Mas Ridwan? Yang jadi vocalis hadroh tadi?" Fatma tersenyum senang membaca untaian kalimat yang ditulis rapi di atas kertas itu.

Sesosok karya indah ciptaan Sang Maha Pencipta telah aku temukan. Karya yang amat indah. Di bawah cahaya bintang yang tak secerah cahaya dari wajahnya. Kurasa benar. Benih cinta itu mulai muncul. Ah, apakah boleh seperti ini? Entah aku tak mengerti. Dia tak pernah mengenalku apalagi menatap wajahku. Dia selalu menunduk. Tapi, aku bahagia. Setidaknya, bentengnya cukup kuat untuk melindungi dirinya dari berbagai variasi tipu daya dunia. Aku tak berharap dia mengenalku. Karena mengetahui namanya saja...aku bahagia.

Kalimat-kalimat itu cukup membuat hati Fatma berdesir. "Kamu ini kenapa, Fatma? Masih kelas 1 MA, jangan macem-macem. Oke?" ujarnya kepada dirinya sendiri. Ia melipat kertas itu dan menyelipkannya di buku diary kesayangannya.

#1. Cintaku Terhalang Dinding PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang