2. Rasa itu angin

225 6 6
                                    

"Besok Sabtu, minggukan ?"
"Ya, kenapa?"
Bila terlihat menimang-nimang jari telunjuknya mengusap dagu anarkis, "Minggu jalan yu" mata sipit cina menatap antusias ingin pergi, rasa bosan saat malam Minggu memang tidak enak.

"Tapi-" Bila mendengus sebelum Darli menyelesaikan ucapannya, "Lo pasti ada janji"

Merasa tidak enak Darli mengguma, "Lo ngajak di waktu nggak tepat"

"Tuh lo tuh temen terjahat" mendecak sebal, dari kemarin niat hati memang malam Minggu ingin mengajak Darli menemani belanja, namun kertas diskon di dapatnya waktu itu sepertinya harus musanah akibat Darli yang tidak bisa menemaninya.

Darli menarik bangku kantin, "Kemarin dia udah ngajak gue"

"Malah sebelum pulang dia udah wanti-wanti". Tangannya meminta Bak pir salah satu pedagang sekolah untuk mencatat pesanan mereka.

"Tapi sebelum itu gue ketawa dulu" mengingat saat pulang Dion melarang untuk melakukan malam Minggu bersama Bila karena saat Minggu kemarin mereka sudah menghabiskan waktu untuk belanja menemani Bila yang mendapatkan kupon diskon tujuh puluh persen dan tentu permintaannya tidak dapat di tolak.

"Tapi ini beneran deh"

"Tau beneran masa iya bohong" Darli memutar bola mata jengah, sudah jelas di kelas orang itu membuka dompet, menunjukkan beberapa kertas dengan angka dengan angka satu dan lima nol di belakang.

Dengan tampang memelas dia terus meminta sampai makanan datang, sedangkan Darli hanya pasrah tetap menolak "Bil gue kasih tau ya" Darli menaruh sendoknya, "Lo kan bisa jalan sendiri"

"Gak" mata itu melotot

Astaga. "Gue udah janji duluan sama Dion"
"Minggu kemarinkan gue udah nemenin lo buat pergi" keluhnya membuat dahi Darli membentuk kerutan.

"Yaudah ada hari sabtukan"

Darli menatap lemah, "Gak bisa Bil" menarik nafas sejenak, susah berbicara pada Bila saat ego belanja miliknya sudah tinggi "Kemarin gue udah janji sama Dion"

Mulai lah Bila merajuk dengan berbagai macam cara, sampai malu menyerang Darli saat beberapa orang melihat kearah mereka terang-terangan, "Bil malu woy" ucapnya setengah berdesis keras.

"Oke" gumanya ikut malu, "Tapi-" mata Bila melotot tajam, jari telunjuknya menjutai tajam depan muka Darli "Lo harus bilang dulu sama Dion"

Sudahlah, Darli sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hanya dapat mengangguk pasrah sembari menunggu apa kilahannya saat pulang sekolah nanti.

Beberapa lama Darli menemani Bila untuk duduk di bangku pinggir lapangan menunggu pria bertampang di tengah lapangan sedang beradu poin memasukan bola ke dalam ring basket masing-masing lawan, peluh membasahi Dion sampai baju basketnya ikut basah, sedangkan dari tempat mereka duduk Bila terus mewanti-wanti Darli untuk ikut bersamanya saat Minggu.

"Iya bawel" siap-siap ia berdiri sedikit menjauh membawa air mineral di botol serta handuk untuk di berikan.

"Hey" Sapa Dion ramah mengambil kedua barang tersebut. Airnya di teguk rakus menyisakan setengah dari satu botol penuh dengan handuk mengusap wajah serta lehernya kasar. "Kenapa dia?" tanyanya melirik sekilas wanita yang sedang bermain ponsel di belakang Darli.

"Berebut jadwal Mingguan", Dion terbatuk-batuk mengeyitan dahi saat tersedak minuman yang ia teguk, "Ya ampun" terburu tangannya menepuk lembut punggung Dion.

"Maksudnya?" Dion menyampingkan handuk biru di pundak kiri, sedikit mengangkat bahu kaget dengan sisa batuknya.

Menghela nafas pelan, melirik Bila sebentar, "Gak tau"

Karya tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang