1. Debu Ter-ambang

280 20 19
                                    

Pagi ini begitu membosankan, awan mendung membawa titik hujan siap menuruni bumi tidak akan membuat hati Darli berubah, ia berharap orang itu ada di sini menemani melihat langit gelap bersama kicauan jalan raya. Menarik nafas lalu terbuang menghilangkan beban dan siap berangkat.

Bersama pak Rido, Darli di antar untuk berangkat ke sekolah, tempat yang paling membosankan dari pada di rumah tanpa penghuni lain. Sosok tanggguh dengan perawak kebapaan begitu baik. Berdehem membuat pak Rido di tempat kemudi melihat lewat sepion menampilkan kerut bingung "Pak balik ke rumah saja" mata bulat menatap jalan raya penuh sesak oleh mobil.

"Tapi non, nanti saya -" pak Rido terlihat takut, "Saya ingin pulang pak" desaknya menatap mata itu.

Pak Rido membuang nafas lelah, sudah tidak dapat menolak. Lampu merah sudah berganti hijau ia menginjak pedal gas, memutar arah untuk kembali ke rumah sesuai permintaan Darli.

Tau akan pak Rido takut "Gak usah takut pak, nanti saya yang tanggung" tidak enak pada laki-laku paru baya itu, sudah mengabdi pada keluarganya tiga belas tahun, dan naasnya ia selalu kena marah pada orang tua Darli karena selalu mematuhi ucapannya, tapi aneh walau kena marah pak Rido tetap saja patuh padanya, "Maaf ya pak"

Pak Rido tersenyum di balik kemudi melirik Darli sebentar "Ya tak pa non" beliau terkekeh kecil.

"Lagi pula non sudah biasa seperti ini" teringat saat belum lama ini, majikan yang begitu baik pada pekerja di rumah juga meliburkan sekolah sendiri, beralih nonton televisi di rumah tidak lain adalah sinetron drama.

Hening, "Pak, papa kapan pulang ya?"
Pak Rido meringis diam, tidak tega menghancurkan harapan Darli "Sepertinya lusa"

Ia tertawa sumbang, lusanya pak Rido adalah satu bulan lagi. Matanya nanar menatap jalan raya menuju komplek perumahan, rasa sesak menuju rumah semakin mendalam saat melihat pilar menjulang tinggi menyebutkan nama komplek tersebut.

Buyi kelakson mobil membuat pekerja rumah buru-buru membuka pagar menghasilkan suara decitan besi, Bi Lasih terlihat kaget melihat Darli pulang kembali, tidak enak menampilkan wajah kaget ia tersenyum ramah menyapa wanita itu.

Ia turun "Aku mau di kamar aja, jangan di ganggu" kalimat perintah namun menyirakan begitu banyak emosi yang ia pendam, "Baik non" Bi Lasih mengambil tas Darli di dalam mobil, mengucapkan kode balas kenapa wanita itu pulang kembali, namun Pak Rido malah tersenyum. Di perhatikan punggung berbalut seragam sekolah menengah atas, baju pas tubuh sedikit di keluarkan dengan rok kotak merah marun bercampur melenggang memasuki rumah sesaat melewati halaman samping garasi.

"Tadi non Darli nanyain bapak" Bi lasih melihat pak Rido kaget, "Tapi dia hanya diam" sambungnya lagi sembari menutup pintu kemudi.

"Bapak sama ibu kapan pulang?"
"Kata beliau lusa" sesaat menghebuskan nafas lelah "Tapi non Darli pasti tahu lusanya bapak ibu kapan"

***

Tempat tidur dalam balutan selimut lebih baik, menggelum nikmat saat udara dari pendingin ruangan meyerbu masuk dari sela-sela selimut.


Foto bermacam pose terbingkai manis di dinding putih polos, sangat pas begitu menampilkan kecerian semasa hari itu dimana tawa canda menjadi satu menggema dalam ingatan, sunyi merendam hanya terdengar hembusan udara dari pendingin ruangan. Ponsel di sebelah bantal saja tak jarang berbuyi menampilkan deretan kegiatan sosial serta macam pesan silih berganti..

"Ya" malas-malas Deril mengangkat dering ponsel saat suaranya menggangu pendengaran.

Dari sebang terdengar ramai, suaranya tidak jelas "Kenapa lo?"

Karya tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang