6. Kuasa di atas Kuasa

195 5 1
                                    

Dari kejauhan, Dion sudah terlihat gusar telah menatap kelas hanya dengan sekali tatap, setiap umpatan terdengar sampai beberapa siswa melirik penuh delikan tidak suka.

"Gue rasa lo kalah saing sama tuh bajingan" usap kasar kepala berhenti di ubun-ubun meninggalkan jejak berantak, matanya menatap Bram tajam yang berhasil membungkam mulut saat baru terbuka melanjutkan belas.

Lain, menginjak satu langkah Roy sudah melihat aura gelap dari sisi dua pria di bangku belakang, tidak hayal Roy tau setiap orang di dalam ruangan saja sampai merasakan juga, beberapa siswa di depan melirik ke belakang sembari bergedik dan berbicara entah apa itu.

Di saat itu juga Bram bersyukur atas kehadiran Roy yang terlihat sedang berjalan santai menujunya, alisnya menunjuk sekilas pada pria depan Bram, bibir bergerak terus berguma makian kecil namun tidak jelas apa salah benda pipih itu sedangkan kalau menerka hanya menampilkan deretan kata dan juga cahaya putih silau. Tangannya terangkat berbisik pelan dari kejauhan "Cemburu" kedua tangan membentuk tanduk lalu terkekeh.

Tidak lama tepukan kasar mendarat di punggung Dion, melempar asal tasnya kearah bangku siapa saja dan mendarat hampir jatuh di meja tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Tadi gue liat ada mangsa sedang mendekat pada target"

Bram bingung, mulut berbentuk mulut huruf vokal dengan kepala maju seperti hewan pendek bertubuh menggoda. "Bentar lagi put-"

"Bangsat"

"Gila lo ngomong kaya gitu"
"Gue cuman mau ngasih tau doang" kilah Roy santai dan mulai menyusul Dion.

Beberapa siswa melihat tidak percaya pada kelakuan pria berbaju keluar berantakan itu, susah payah kedua kerabat dekat Dion menutupi kegiatan olahraga pagi.

Berbagai umpatan terlontar dari mulut Dion saat memukul Valdo yang tersungkur dalam kungkuhan, sedangkan pria itu tidak dapat mencegah serangan mendadak tadi, baju Dion ternodai oleh darah segar keluar dari bibir begitu terbalik Dion berdiri pada tembok dengan kerah baju tercengkram erat. Setiap kepalan tangan mendarat akan selalu mendapat respon beragam hingga teriakan melengking membuat kedua orang itu berhenti. valdo dengan kasar melepas cengkaramnya membuang ludah yang meninggalkan jejak besi pada lantai. Menghadap wanita berbaju dinas sedang menggelangkan kepala tidak percaya.

Tangan kedua saling memegang luka masing-masing, jejak kebiruan tidak dapat terlepas pada pelipis dan rahang, Dion menatap Valdo bengis lalu berjalan membelah kerumunan hingga tiba di ruang interogasi yang membosankan.

"Kalian itu" teriakan tidak dapat di cegah. "Kalau mau jadi preman bukan ini sekolahnya"

"Tapi jalanan" kalimat penuh desisan tajam tidak dapat terpengaruh, "Siapa biang• dari ini semua?"

Melihat tidak ada satu kata terlontar dari kedua orang itu, wanita berumur itu berdiri "Apa lagi sekarang?"

***

"Ada Darli di luar" Tio mendengus pelan melihat Dion tidak bergeming.

Jam istirahat mereka baru keluar, dan di sinilah sekarang dalam kelas bersama beberapa noda darah pada bajunya, sekilas Dion melihat kekhawatiran Darli, namun tatapan itu di buang jauh-jauh.

Darli jelas begitu khawatir bagaimana bisa Dion melakukan ini, dalam hati wanita itu ingin marah dan memaki namun ia hanya dapat meringis.

Tangannya menaruh air hangat dan tisu yang tadi di belinya dari kantin, niat ingin membersihkan luka. Duduk di samping pria itu yang kebetulan punggungnya sedang bersandar pada tembok sedangkan keempat pria tadi sudah keluar meninggalkan sepasang kekasih.

Dengan hati-hati Darli membersihkan luka dan sekarang air hangat sudah berubah warna, menutup bibir pecah Dion oleh plester tempel.

Tidak ada ringisan setiap sentuhan Darli pada lukanya, tidak tertinggal sakit seolah wajahnya sudah di suntik oleh cairan kebal. Detail gerak terlalu memperhatikan setiap lebam kebiruan tidak menyadari mata tajam menatap dingin.

Karya tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang