5. Never Gonna Leave This Bed

219 5 2
                                    

Darli tidak henti memutar remot kesal, terlihat setiap sentuhan jari terlalu keras menekan. BI Larsih yang melihat itu diam-diam meringis membayangkan mungkin sebentar lagi benda itu akan hancur.

"Non, tidur"
Perhatian dari BI Larsih terabaikan, pukul sebelas malam pantas cerewet, "Besok sekolah ? Bapak nanya kemarin kenapa nggak masuk" nadanya lembut namun jangan salahkan arti nada itu.

Memang sedari tadi ponsel di samping tidak berhenti menampilkan nama kedua orang itu bergantian, ternyata sudah tahu. Darli tersenyum miris mematikan televisi namun ponsel di matikan dengan layar gelap gulita.

BI Larsih yang melihat itu beralih setelah mematikan lampu utama.

***

Hari terus berlalu namun tidak ada perkembangan pesat bersamaan hubungan Darli serta Dion, keduanya sama-sama sibuk serta kehidupan asmara kedua orang itu mulai terbengkalai , kemarin Dion bertanding basket mengharapkan kedatangan Darli hingga tidak fokus menghadapi lawan begitu disayangkan skor lawan terus bertambah meninggalkan sang tuan rumah yang mengadakan pertandingan itu.

Beberapa kali ia melihat jam tangan akan harapan yang terbendung memberi semangat. Namun lagi-lagi harapan itu kandas terhilang oleh waktu bersama di detik terakhir mata tidak fokus, entah kebodohan dari mana peluang besar hingga poin terbesar di raih oleh mereka. Dion kalut tidak peduli ucapan semangat dan apapun atas kesalahannya.

"Kenapa kamu nggak datang?" tanya langsung di inti.

Darli meringis, sedari tadi semua orang menanyakan hal itu. "Aku rasa kamu tau"

"Kamu tau itu semua taruhan?" nada menghakimi.

"Tau"
Sesak, seolah benda pipih di depan wajah lebih baik dari pada pria di samping terus memojok, seolah ini semua kesalahannya. "Bisa kamu diam!" nada printah bersamaan tatapan dingin itu.

Mengenyit alis bertaut tidak suka, mulai berdiri tegap, tangan terlipat depan dada, "Kamu dengar aku?" desaknya tidak suka.

Tubuh Dion terhentak melihat Darli pergi, meninggalkan semua ucapan berat terbanting hancur.

Kalian tahu bagaimana rasa begitu melihat semua depan mata mendukung sang kuasa, kiasan bola tidak akan menutupi sebuah kuasa Tuhan, semua pandangan hidup akan mengarah pada ucapan lisan.

Dalam hati semua harus di tahan, bagian mana yang harus mereka tempuh kali ini. Keributan tidak jelas Darli membuat Dion bingung menurutnya wanita itu lebih suka memendam dari pada mengungkap dan kadang kala terjadi salah paham.

"Kenapa muka lo?"

Bram terhenyak begitu melihat Dion memakinya, mengangguk mengerti begitu melihat Darli memasuki salah satu kendaraan putih.

Desisan memaki sembari mengumpat kedua orang itu terdengar jelas, sedangkan yang lain harus pasrah percuma saja menenangkan di saat seperti ini.

Sebagai teman Tio menepuk bahu Dion memberi semangat, "Sukses"

Ucapan Tio hanya sebuah bentuk prihatin atas masalahnya, hingga tatapan tajam tersalur menatap kendaraan pada balik tembok jalan raya, pemikiran bercabang tidak mengerti ,

Bangku sebelah bergoyang memilih pergi begitu mengucapkan yang menurut Dion tidak mungkin kalau memang ada peluang untuk Valdo merebut posisinya.

***

Mata bulat Darli menerawang jalan raya, begitu menawan ketika matahari sudah mulai beranjak senja seperti langit memaparkan sinar hangat bagaimana rasanya di bawah sinar itu bersama debur ombak yang melambai membentuk pasang naik dan juga desiran angin laut menerpa wajah, itu pemikiran Darli sedari tadi setidaknya bila seperti itu mungkin dapat meringankan bebannya sebentar saja.

Karya tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang