7. Pohon Jeruk Nipis

136 3 1
                                    

Pernah dengar?, sesuatu yang pertama tak hayal lebih bagus dari yang kedua. -unknow

---

Semua tidak akan sempurna hanya dengan satu kata untuk melengkapinya, bayang wajah dengan mata terpejam begitu memukau bagai wajah tertepa angin malam, tidak ada yang tahu setiap mata itu terpejam semakin banyak setitik air mata di dalam hatinya. Ketika suara desir ombak saling berkejaran menemani dikala semua mulai meninggalkan tempat itu, sebuah lukis bintang memandangnya dari kejauhan seolah mengejek bintang saja dapat bersinar sendiri tanpa bantuan matahari, lalu apa maksut semua itu?

***

Bila tahu, ada yang tidak benar dalam posisi Darli, seperti dua kutub dengan karya terlepas. Layak hal beribu cara hanya dapat terdiam memandang hamparan manusia kosong.

"Tell me" tidak tahan melihat kerut kening Darli semakin dalam.

Terkejut, menatap Bila bertanya, mata meredup bingung "Kenapa?"

"Pertanyaan bodoh" semua yang melihat juga pasti tahu dan merasakan juga "Setidaknya orang bersalah patut di hukum"

Darli tertawa mendengar pernyataan Bila, terdengar lucu kalau saja dia tidak mengerti. Hari dimana semua masih sama, di perjalanann permukaan datar masih berada pada tempatnya. Kicau gemuruh dari bibir Bila masih teringat, bagimana sumpah serapah terucap lantang. Darli hanya dapat menggerakkan kepala memaklumkan.

Sadar akan tidak ada Dion untuk menghadiri sekolah, membuat hati kian teriris pilu. Harapan datang membawa angin untuk mendesau muskil. Tidak sadar suara teriakan berat menghentikan langkah, "Kenapa?" tanyanya bingung.

Dada naik turun menghirup udara luar, jejak basah mulai bertumbuhan pada dahi, "Bareng" cengirnya.

Darli menghembuskan nafas lega, "Sial gue kira kenapa?"

Setelah mengantar Bila dengan selamat, pak Rido membawa Darli menuju sebuah kedai cofe pinggir jalan. Wanita itu pasrah saja mengetahui pria paru baya tetap sedia menunggu dalam waktu setengah jam hanya untuk memesan dan menghabiskan dalam tempat.

Menyerahkan sebuah hot cofe manis rendah kafein sebagai tanda terima kasih, bagaimana juga pak Rido merupakan pria beranjak kepala empat puluh akan ketentuan riwayat penyakit ginjal.

Darli duduk dan mulai memperhatikan jalan menuju rumah. Setiap barisan kendaraan terdapat beberapa manusia membawa tawa serta senyum kebahagiaan, dalam kurung waktu dua puluh empat jam manusia dapat memberikan seribu suasana hati berbeda setiap detiknya. Sebab setiap rintangan harus menerima lapang dada, Tuhan selalu memberi keadaan dimana manusia harus menentukan pilihan.

Makian cacian selalu berada depan bibir mendesak untuk terucap mendengar suara tawa tidak henti mengisi kekosongan rumah.

"Sudah pulang?" tanyanya di anggukkan. Tanpa prakata lain, Darli melanjutkan perjalanan menuju kamar meninggalkan kemurungan wanita, pria itu menatap anak tadi malas, mata menajam mengikuti pergerakan, istrinya memerah ingin menangis, melihat itu gemuruh di dada seperti bertopang lebih cepat, tangan terkepal di atas penyanggah.

Bukan, Kian tidak bersedih akan ketidak sukaan Darli, mata bertemu melirik bengis Joan "Bisa kamu minta maaf!"

Lipatan pada dahi membuat bingung "Maksud kamu?"

Tidak menyangka Joan termasuk pria bodoh dengan kapasitas semakin rendah, tersenyum remeh "Kamu kira aku bodoh?" herdiknya, "Bukan otak dengan kelakuan sama"

"Anak kecil" berdesis, melenggang pergi meninggalkan Joan dengan pemikiran.

Tidak sampai malam, hubungan kedua orang itu berangsur membaik namun jangan salahkan ucapan terlontar dari keduanya. Sama-sama penuh delikan dan ketidak sukaan, Joan membiarkan Darli untuk keluar malam, namun jangan salahkan kalau melebihi waktu tertentu.

Karya tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang