Warning adult.
Gatot Subroto menjadi fasilitas ternyaman kali ini, kualitas kalangan muda kadang tidak mangkir dari tempat terbilang memadai lebih dari cukup kalau di daerah itu. Lima orang tertawa, Darli merenggut ke dalam dada bidang Dion meminta kelembutan hingga elusan lembut tersimpak pada lengan kanan yang merengkuh untuk lebih mendekat dan mudah mencari wajah sang pemilik.
"Tuben banget lo Dar, have fun dong jangan minta di kasih ketek doang sama cowo lo"
"Sialan lo Dam, namanya juga lagi manja" semua tertawa, gurauan Dion mampu memberikan tangan Darli untuk melayang di kepalanya. Pusing terkekeh menjadi obat untuk mencari bibir ranum milik wanitanya.
"Cari ruang woy"
"Bangsat!"
Salahkan ketiga cowo brengsek itu dengan Bila di sandaran Bram karena lebih memilih mengacuhkan kedua insan yang terus mencari kepuasan lewat bibir seakan meminta lebih karena waktu sudah segera habis untuk menuju surga, terlebih bokong sudah mendarat tepat di atas apitan paha keras yang selalu indah bila di perlihatkan secara cuma-cuma depan matanya.
Desahan kecil lolos mengingat bibir Dion sudah melewati leher jenjang Darli yang mendengak agar lebih leluasa menjelajahi sampai hisapan kecil mampu membangkitkan hasrat tertunda tadi.
"Room please" desisan pelan Darli di biarkan tergantung bagai hukuman mati, yang namanya laki-laki brengsek tetaplah brengsek. Nafas yang seharusnya semakin memburu di tinggalkan secara cuma-cuma bersamaan seringai licik Dion.
Keningnya menyatu membiarkan sepasang delikan mata memutuskan semua yang awalnya memulai agar lebih ke tahap memuaskan. Di balik punggung itu, Dion mengambil sebotol beling, Darli menatap bingung sensasi panas ketika bibir itu memasukan minumannya lewat mulut meninggalkan jejak manis dan panas di tenggorokan ketika menelan, susah payah Darli menelan semua yang di sodorkan lewat lidah Dion agar semua tersalurkan di bibir manis kekasihnya.
Senyum terlukis indah, rasa bangga memasuki dada merasakan semua minuman di mulutnya kandas sudah tersalur oleh mulut itu. Bagaimana bisa dirinya mampu mengendalikan diri desahan kecil dari Darli membangunkan hasratnya. Tubuh kekasihnya bergerak menyecap bibir sampai rahang seperti sengaja untuk menemukan gesekan pelan untuk membangun barang berharganya.
"Sial" desis Dion tidak tahan. Suaranya serak bercampur gairah. Darli bingung ketika bibirnya sudah sampai dada, Dion malah memindahkan diri untuk mengangkat Darli untuk berdiri mengikutinya.
Mereka tidak peduli, Bila sudah terlalu asik oleh Tio entah mau apa pria brengsek itu mendekatkan tubuh keduanya nyaris tidak ada udara antara kedua tubuh yang saling berhadapan.
Hingga sampai di luar meninggalkan dentuman musik keras Dion memasukkan tubuh Darli ke pintu belakang. Tubuhnya yang terbilang berisi menindih terburu-buru, tidak hilang kenyitan nyeri di punggung Darli. Hasrat sedari tadi ia tahan ingin cepat-cepat di salurkan melalui bibirnya terus mendesak untuk masuk bersama tangan yang menurunkan dres hitam Darli. Darli mendapat titik rangsang di kedua dadanya. Ia tahu apa yang juga ingin di salurkan, gairah.
Di malam itu, suasana gelap di dalam memberikan jejak panas seperti sauna yang mampu memberikan keringat dan uap untuk menyegarkan tubuh. Di bawahnya desisan kelegaan di biarkan begitu saja. Gerakan pinggul beberapa waktu lalu menggila nyaris menghancurkan rahimnya itu sudah terkontrol, terbilang pelan menikmati pelepasan duniawinya.
Tidak butuh lama untuk gairah di dalam kendaraan itu sudah berangsur surut walau tidak sesurut musim kemarau melanda, "Terima Kasih" bisiknya memberikan lumatan pelan pada bibir Darli penuh kelembutan mengucapkan syukur tiada tara akan kenikmatan yang di berikan kekasih yang sedari dulu ia kasihi.
***
Di angkatnya tubuh itu selembut mungkin agar tidak mengganggu kenyamanan di alam bawah sadarnya. Kasur empuk dalam kamar sudah meminta agar tuan putri miliknya untuk di letakkan secara halus seperti bulu, tubuhnya sedikit menggeliat setelah menemukan pembaringan ternyaman setelah melewati masa kasur keras mobil. Tidak tega di bukanya kain Bali yang tadi menutupinya agar terganti oleh selimut kamar yang lebih hangat untuk menutup tubuhnya hingga dada.
Setelah urusan Darli selesai, ia nyusul tepat di sisi kanan, menanggalkan semua pakaian yang di pakai asal tadi dengan bokser. Wajah bahagia Dion tidak dapat terpungkiri, melihat wajah Darli begitu damai ketika tidur menjadi hal menyenangkan yang sedari dulu ia suka, sentuhan tangannya memberikan rasa terusik hingga tubuh itu menggeliat menyamping mencari tempat ternyaman kembali. Bibir merah nan kecil terasa manis kala di rasakan, semua yang terdapat pada Darli adalah anugerah yang telah Tuhan berikan oleh dirinya, di elus rambut yang legam selalu menjadi kesukaannya, namun ada jejak tidak suka ketika rambut hitam itu sudah sedikit terganti oleh warna lain. Keningnya mengkerut, ia tidak suka.
Pagi menjelang, pegal adalah kata pertama yang ia rasakan seperti ada beban empat puluh kilo menimpa serta memaku seolah tidak ingin tubuhnya bangkit.
Dion terkekeh, tangan melingkarnya terangkat memberi kebebasan. Kata maaf ia abaikan, "kamu nggak menggangguku, kenapa harus minta maaf?"
"Susah bangun ya?" Senyuman manis Dion keluarkan, menopang tubuhnya lewat tangan yang terlipat menyanggah kepala.
Merona, Darli memaki dirinya sendiri, jarang perupa wajah dapat terasa panas serta malu bercampur kesal memungkinkan ia membuang muka. Rasa ingin mengubur seluruh wajah dalam selimut sirna ketika kecupan manis terasa mengusik ego.
Mengucapkan kata maaf, barulah Dion bangkit. Baru kembali ketika sajian teh hangat terhidang sempurna depan mata Darli yang sedang terpejam.
"Udah berapa kali aku bilang, bangku mobil itu keras, dan gak akan sama seperti sofa ruangan presiden yang memantul seperti kasur" deliknya susah payah untuk bangun.
"Besok-besok kalo mau ngunjungi, liat kondisi supaya badan gak terus kaya gini"
Dion tertawa, merasa terhibur akan semua nasihat namun lebih terkesan ancaman duniawi "Encok muda juga buatku gak masalah, dan ku rasa kamu juga gak akan tahan untuk aku kunjungi" jangan salahkan bantal yang mengenai wajah Dion.
***
Mendengar cerita Darli, Dion hanya mampu memeluknya "Menurutku lebih baik kamu terima semua, tante masih terbilang muda untuk jadi orang tua yang memiliki anak berusia delapan belas tahun sepertimu"
"Tapi aku sudah tua untuk kalangan remaja yang memiliki adik kembali"
"Terus kamu mau nyalahin kehendak Tuhan?"
Mata Darli sepertinya sudah bosan untuk terus mendelik, ia lebih beralih pada tangan yang menepuk dada pria itu secara keras "Kedua orang itu lah yang harus di salahkan, kenapa bisa kebobolan"
"Sakit" Darli melepas lengan yang membelitnya, sentakan gemas beralih menjadi usapan lembut takut tindakannya tadi menyakiti keningnya.
"Dengar" mata Dion menatap lurus. "Aku bukan bercita menjadi ajang mediasi, namun aku disini berhak memberi tahu kamu satu hal"
Mata Darli tidak lepas oleh kedua mata keseriusan. Genggaman di kedua tangan membuktikan akan adanya ucapan yang akan mengetuk relung hatinya.
"Mereka muda" Darli menggagguk tahu.
"Mereka punya kekuatan orang dewasa" bingung.
"Dan tentu kalau aku jadi Om juga akan seperti itu"
Kata marah memang tidak tersampaikan, namun kediaman Darli mampu mengusik ketenangan Dion. Berulang kali kata bujukan tidak memasuki kedalam hati, seperti angin yang numpang lewat dan tidak memikirkan keadaan.
"Aku tahu kamu merajuk" diam. Dion mengusap rambut frustasi "Setengah hari kamu udah diemin aku"
Menurut Darli, punggung sudah cukup untuk menemani Dion tidur. Menunggu kantuk ponsel menjadi ajang pertama yang ia inginkan.
Ingin melanjutkan atau tidak hanya satu,
Silahkan.Vote atau komentar dapat tinggalkan di bawah ini, mohon maaf saya juga bukan bermaksut untuk mengemis, namun saya penulis amatiran yang tentu butuh dukungan para pembaca. Apa tanggapan kalian gitu.. Hihi😉😅😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Karya tak Bertuan
AléatoireCerita ini, saya buat di saat sedang gabut atau sedang tidak ada pekerja apapun, atau sedang malas jadi timbullah ide cerita 'Karya Tak Bertuan'. Menceritakan betapa kuatnya sosok Darli. Anyway kalau kalian ingin lihat atau baca, satu kata : Silahka...