Bab 1 Bintang Api

98.7K 5.1K 741
                                    

Lampu-lampu yang tadi kulewati memancarkan sinar keemasan yang megah kini hanya serupa kunang-kunang. Sekawanan angin dari darat sekonyong-konyong datang untuk menyapa wajah, memberi sensasi segar pada pori-pori. Kesejukannya membuatku tersenyum. Aroma samudra yang segar dan dingin adalah salah satu jenis bau-bauan yang kusukai. Sebab saat aku menghirupnya, dampaknya langsung menusuk pikiran, menghantarkan gelenyar yang menyenangkan dan adiksi.

Lalu tatapanku melayang pada langit. Di sana banyak sekali bintang. Pada arah barat, tepatnya konstelasi Taurus, ada gugus bintang yang berwarna kebiruan mirip kilau 7 permata yang dihamburkan. Mungkin, saat menciptakan bintang-bintang itu, Tuhan hendak menertawai manusia yang sombong. Lihatlah ke langit, makhluk kecil yang arogan. Kekuasaanmu tidak seberapa. Permata, intan, dan mutiara yang terserak di bumi dan kalian miliki, sama sekali tidak pantas ditandingkan dengan bintang-bintangKu yang sampai kiamat tiba tak akan mampu kalian miliki.

"Lintang Wuluh." Ada yang menyela lamunanku. Mataku bergerak beberapa derajat, seorang gadis memakai jaket Jaded by Knight yang mahal memegang besi pembatas kapal. Rambutnya yang tergerai dibiarkan berkibar. Kepalanya terdongak, lekat pada gugus bintang yang barusan kuamati. "Kabut-kabut putih yang mengelilingi mereka tidak membuat tujuh bintang itu kehilangan pesona."

Aku masih diam, menikmati kesendirian dan menganggap gadis tadi tidak ada. Bagiku Lintang Wuluh yang ada di langit adalah penggambaran namaku. Tsuraiyya Aghni. Tsuraiyya adalah nama dalam bahasa Arab. Orang Indonesia lazim menyebutnya bintang Kartika. Sementara, dalam ilmu perbintangan, tujuh benda langit yang memancarkan cahaya itu disebut Pleiades. Setahuku, dia berjarak 444 tahun kecepatan cahaya. Dengan jarak yang cukup mencengangkan itu, Pleiades termasuk gugus bintang yang dekat dengan bumi. Tiba-tiba, aku membayangkan bagaimana jika aku travelling ke sana menggunakan kendaraan dengan kecepatan 60 km/jam. Kecepatan cahaya yang perdetiknya mampu menembus jarak 300.000 km mampu sampai setelah 444 tahun, sementara aku hanya punya kecepatan 60 km per-jam, bukan detik. Pasti butuh jutaan tahun yang perlu kutempuh kemudian saat tiba di sana, tubuhku sudah musnah.

Memikirkan hal konyol ini saja, aku geli sendiri.

"Kamu baik-baik saja?" Gadis itu lagi-lagi menyela. Terpaksa aku menoleh. Kupikir, aku bisa bersikap judes seperti biasa. Namun, saat melihat matanya yang berbinar cemerlang dan bersahabat, aku pun mengangguk. Sepertinya, dia seusia denganku.

"Namaku Sarasvati Akbar."

Dia mengajakku berkenalan? Memang, aku mau, ya?

"Hei, kamu tidak boleh mengabaikan orang yang mau berkenalan denganmu." Protesnya kemudian. "Namamu siapa? Aku seperti pernah melihatmu."

Tanganku menunjuk ke arah barat, tepatnya pada gugus bintang Pleiades. "Itu namaku."

"Lintang Wuluh?" Ia menebak-nebak. Dirasa kalau namaku tidak mungkin Lintang Wuluh, ia meralat, "Kartika?" Lalu bibirnya tertekuk. "Apa susahnya berkenalan dengan orang? Jangan berbelit-belit."

"Buat apa?" alisku naik sebelah. "Buat apa mengenal seseorang lantas dalam hitungan menit kamu melupakannya? Orang-orang yang kamu ketahui namanya dan barangkali kamu harus menghapal nama mereka, sama sekali bukan orang penting dalam hidupmu. Beberapa di antara mereka juga adalah orang yang tidak peduli padamu." Kakiku mundur dua langkah. "Jadi, untuk apa berkenalan kalau di masa depan nama-nama yang kamu ketahui dan kamu hapal tidak memiliki arti sedikitpun?"

Kalau tidak salah nama gadis itu Sarasvati Akbar, dia terperangah lalu tersenyum. "Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Karena itu, aku yakin kamu tidak punya jaminan bahwa orang yang kukenal tidak memiliki arti. Bagiku, mungkin mereka tidak memiliki makna, namun untuk orang-orang tertentu, mereka sangat berarti. Dan ketika berkenalan, aku tidak berniat untuk melupakan. Aku ingin mengenalmu agar aku bisa memahami sesuatu darimu, barangkali. Sikapmu yang sentimentil dan pesimis membuatmu terjebak dalam logika yang sempit. Seolah-olah hidup hanya terdiri dari dua hal; mengenal-tidak kenal. Baik-buruk. Hitam-putih. Kamu menempatkan hidup ini dalam wadah yang terlalu kecil."

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang