Bab 13 Detak, Napas dan Pupus 2

32.1K 3.5K 522
                                    


Rakryan POV

Ponselku sudah bergetar 40 kali dan tanpa melihat layar, aku sudah tahu siapa yang menelponku sebanyak ini. Tidak mungkin kuangkat panggilannya. Aku sedang berbicara dengan Darusman Sidik, ayah Manora, sekaligus ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Persatuan Rakyat Provinsi Lampung. Rumail menyarankan untuk menekan Tidar-agar meralat keputusannya untuk seluruh kader partainya-yang telah menggoyang kesolidan tim kampanye melalui pria dewasa satu ini.

Sebagai ketua partai di tingkat provinsi, dia pasti punya legitimasi. Jika aku berhasil mempengaruhinya, kekuatan Tidar tidak akan berarti apa-apa. Tidar pasti berpikir dua kali jika tidak patuh. Pertama, loyalitas pada partai adalah harga mutlak yang harus dibayar oleh kader. Kedua, siapa saja yang membangkang pasti tidak akan selamat karena menyalahi kode etik.

Lalu setelah berbincang-bincang soal keluarga-kebetulan, ibuku akrab dengannya sebab pernah mencetuskan ide gila untuk menjodohkan aku dan Manora, meski berakhir gagal-mengalirlah cerita mengenai usaha Albar mendeskriditkan posisiku dengan bantuan Tidar. Semua didasari fakta yang baru kutemukan beberapa hari lalu. Bahwa Albar membunuh Ayana. Bahkan sebagian misteri terkuak atas bantuan Manora. Aku juga menyampaikan bahwa Albar pernah mempraktikkan politik uang ketika menemani ayahnya berkampanye tanpa sepengetahuan Rumail, tentunya. Dan soal bukti, aku cukup cerdas dengan menunjukkannya.

Rumail tidak tinggal diam. Dia memperkuat alasan dan bukti yang kusodorkan. Sekalipun Albar adalah anaknya-tepatnya anak tiri-Rumail tidak mau ambisi berkuasa membutakan ruh berpolitik. Hakikatnya politik adalah untuk membangun bangsa, membangun peradaban, bukan menghilangkan nyawa. Ini membuatku cukup bangga memilihnya menjadi wakilku. Kami memiliki beberapa kesamaan.

"Baik, aku mengerti apa yang kalian inginkan." Darusman menatapku. Dari caranya melihat, aku merasa ada yang janggal. "Kalau aku menekan Tidar sesuai keinginan kalian, apa imbalan untukku?"

Barter apa yang dia inginkan?

"Heheheh, akan kuperjelas. Aku ingin kamu menikah dengan putriku." Dan suaranya menyublim di antara hawa kering yang diam-diam mengisi obrolan kami. Aku tidak yakin mampu mendengarnya sampai akhir. "Pikirkan masak-masak."

"Aku sudah-"

"Menikah? Masa bodoh untuk yang satu itu. Bukankah yang tahu pernikahanmu hanya beberapa orang? Setahuku, belum ada resepsi dan belum terdaftar di KUA, kan?" Dengan senyum lebar, dijelaskan kondisi pernikahanku.

Hah, aku lupa. Kesibukanku akhir-akhir ini membuatku lupa bahwa Tsuraiyya belum mendapatkan haknya untuk mendapat buku nikah.

"Kamu sudah mengenal Manora. Kalian dekat dan saling membutuhkan satu sama lain. Keluargamu pasti setuju. Dan aku tidak keberatan dengan posisi istri pertamamu asal putriku yang menjadi istri sahmu. Asal Manora yang akan menemanimu di even-even sosial-masyarakat. Nah, pikirkan masak-masak. Aku tunggu jawabanmu sampai besok siang. Kalau kamu setuju, kita akan langsung menyelenggarakan akad nikah pada malamnya." Darusman tidak main-main. Aku tidak tahu apa motifnya merendahkan harga diri, menghalalkan segala cara, agar aku dan Manora menikah.

"Manora sudah punya calon. Dan setahuku mereka saling mencintai." Aku mencoba melunakkan permintaannya. Pria itu menyipitkan mata kemudian tertawa kuat-kuat.

"Cinta tidak pernah penting dalam politik, Rakryan. Apa yang bisa diandalkan dari pria yang belum menyelesaikan pendidikan, suka keluyuran dan urakan? Pria yang kamu maksud itu tidak memenuhi kualifikasiku. Jadi, tidak ada masalah kalau Manora meninggalkannya. Untukmu." Darusman menepuk bahuku kemudian melempar senyum pada Rumail. "Dengan menikahi Manora, aku akan membantu memperkuat integritas kader partaiku yang mulai tidak solid karena pengaruh Tidar. Dengan menikahi putriku, aku bisa mewujudkan peluang yang besar untuk menang. Nah, kurasa itu imbalan yang cukup adil." Pria itu tersenyum hangat. Sudah lama bergaul dengan berbagai macam karakter, membuatku sangat yakin senyum itu hanya topeng basa-basi yang memuakkan. Saat itu juga aku baru tahu bahwa jalan buntu sudah terbentang di depan mata.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang