Bab 11 Pengantin Pelangi 1

38.6K 3.9K 654
                                    

Mendengar suara Buntut Adnan membuat pikiranku yang pengap langsung dipenuhi kelegaan. Memang belum terbebas dari Rakryan, tapi aku percaya bahwa dia bersedia membelaku. Aku percaya Buntut Adnan sebagaimana seseorang mengandalkan keluarganya.

"Gue bilang jauhi ponakan gue!" Buntut Adnan berjalan terburu-buru.

"Tetap di tempat!" Rakryan memberi intruksi. Alih-alih melawan Rakryan, Buntut Adnan malah berdiri kaku.

Rakryan semakin menipiskan jarak kami. Tubuhnya mengungkungku secara sempurna seolah dia sedang berusaha menghalangi tubuhku yang hanya memakai kamisol dari pandangan Buntut Adnan.

"Apa yang lo rencanain? Gue ini ini Buntutnya, mahramnya." Teriak Buntut Tidak sabaran. Aku sampai ngeri mendengar gelegar suaranya yang tidak main-main.

"Tapi, aku tidak mengijinkanmu melihat tubuhnya yang terbuka." Sahut Rakryan datar. Sekarang hidung kami bersentuhan, dan lengannya bergesekan dengan lenganku. Api merambat di pori-pori lalu masuk membakar tulang-tulangku. Aku memejamkan mata, tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi.

"Albar udah pergi. Lo nggak usah manfaatin ponakan gue yang polos itu!" Dan Buntut masih marah-marah. Heran, dia cuma bisa ngomong, tidak langsung beraksi melepaskanku dari bahaya. Memberi empat sampai enam pukulan pada pria angkuh ini kupikir tidak masalah.

"Ponakanmu? Dan siapa dia buatku?" Rakryan bertanya sambil menatapku lekat-lekat. Aku mendongak dan balas melihat pria itu. Kontak mata serta kontak fisik kami membuat jantungku berdetak-detak ganjil. Aku membisiki diriku agar tidak terpukau pada iblis laknat satu ini. Tetapi, gagal. Aku sama sekali tidak imun pada pesonanya. Dan ini membuatku jengkel. Otakku kembali saat bunyi klik terdengar, disusul suara borgol jatuh. Jadi, dia memanfaatkan jarak kami untuk melepaskan borgol. Aku menggerakkan tangan yang bebas. Karena terlalu bersemangat, kepalaku sampai menyentuh tiang yang digunakan untuk menyandarkan tubuhku. Hampir saja aku terjatuh, jika dia tidak menahan bahuku. Oh ya, asal tahu saja, kakiku masih terbogol dan itu menyebabkanku tidak bisa menjaga keseimbangan.

Rakryan menghela napas kemudian tahu-tahu, tuksedonya sudah terpakai sempurna di tubuhku. Aku dalam keadaan sadar, sangat sadar malah, tetapi bagaimana bisa aku tidak tahu jika sedang dipakaikan tuksedonya? Rakryan kembali mendekat. Dihilangkannya jarak antara kami. Dengan perasaan kalut, aku hanya mampu meremas-remas tepian tuksedo. Aku tidak mampu berlari, menghindar atau apapun itu kecuali menghitung mundur untuk memastikan satu hal; ciuman.

Kupikir ini mimpi, nyatanya bibir lembut itu benar-benar menyentuh keningku. Aku sampai memejamkan mata untuk menikmati ciumannya. Aku tahu satu hal, ini bukan nafsu. Dia terkesan tulus, baik, dan bersinar seperti malaikat.

"Buntuuuut!" Aku berteriak karena sadar sudah dicium Rakryan. "Dia..., dia..., menciumku." Kenapa suaraku terdengar seperti anak kecil yang kehilangan mainan? Aku malu. Apalagi Rakryan memandangiku dengan sorot jenaka.

Buntut Adnan malah membelakangi kami sambil terus mengumpat. Semua koleksi umpatannya keluar dalam berbagai bahasa. Aku benar-benar tidak paham ulah dua manusia dewasa di depanku ini. Yang satu adalah saudaraku, tetapi dia diam saja melihat Rakryan menciumku. Yang satunya lagi, kami baru saja bertengkar dan sempat mengancamku, tetapi entah kenapa, ciuman tadi menghapus semua prasangka burukku padanya. Siaaalaaaaan. Rakryan sialan. Seharusnya aku merasa marah karena dilecehkan, tetapi perasaan yang mendominasi adalah malu dan... apa aku berdosa kalau ingin dicium lagi?

AIYA, WARASSSSS!

"Bawa dia pulang. Pastikan dia baik-baik saja sampai nanti malam." Rakryan sudah menarik diri lalu ganti berjongkok dan melepas borgol kakiku.

"Selain luka memar di tengkuk, pergelangan tangan dan kaki, aku tidak akan memaafkanmu kalau kulitnya terluka. Lagi." Lanjut Rakryan kemudian keluar dengan langkah lebar-lebar tanpa bicara lagi padaku. Boleh nyekik nggak? Seenaknya datang, bertengkar, mengancam, mencium, lalu sekarang? Dia benar-benar sudah bosan hidup. Kupandangi bahunya yang menghilang dari balik pintu. Bersungut-sungut, aku menyumpahinya. Akan kujadikan pria itu sebagai campuran perkedel untuk makan malam nanti.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang