Bab 11 Pengantin Pelangi 2

45.8K 4.2K 1K
                                    

***

Sepanjang jalan aku bertanya-tanya, kenapa Rakryan melakukan konferensi pers di lapangan, bukan ruang tertutup nan ekslusif serta banyak dipenuhi lampu blitz. Ketika berdiri di dekat parit karena ragu mau masuk ke lapangan yang banyak dengan tenda, akhirnya aku tahu apa alasan pria itu mengadakan konferensi di tempat terbuka. Lihat saja, lapangan Sriwijaya benar-benar penuh oleh lautan manusia. Selama aku hidup di negara demokrasi ini, belum sekalipun aku melihat antusias warga setinggi ini. Maksudku begini, selama ini yang kuketahui tetang dinamika politik selalu ada pihak-pihak yang gemar melakukan black campaign. Beberapa penduduk menanggapi masa bodoh karena tidak ada bukti akurat, sebagian lagi menentang sampai perang urat, sebagian lagi mengiyakan dan sibuk menyebar desas-desus ke orang lain. Ketiga pilihan itu lazim menjadi pilihan masyarakat.

Namun, kasus Rakryan berbeda. Dari membludaknya manusia yang hadir, aku sangat yakin mereka memiliki harapan yang begitu besar pada Rakryan atau lebih tepatnya menunggu bahwa Rakryan bisa membuktikan dirinya tidak bersalah dengan data yang valid. Aku merasakan itu. Aku memahami doa mereka. Dan aku juga mengerti kegelisahan mereka. Karena pada dasarnya, naluriku sama seperti mereka.

Tiga puluh menit berlangsung, semua kegaduhan terkendalikan. Hening, hanya ada satu suara yang memenuhi telinga, suara yang berasal pengeras suara. Yang pertama memberi sambutan adalah ketua tim kampanye didampingi ketua partai politik di tingkat kabupaten. Ada empat parpol pendukung Rakryan. Salah satunya adalah partai yang menempati kursi dewan di kabupaten paling banyak, Partai Persatuan Rakyat. Dilanjutkan penjelasan dari pria berbaju batik mega mendung yang mengaku sebagai salah satu PNS di Departemen Agama dan bekerja sebagai petugas KUA kecamatan Kemiling. Lalu ada Manora, si cantik yang bertutur kata lembut itu menjelaskan dengan argumentasi yang cerdas disertai bukti-bukti yang ditampilkan oleh proyektor. Mendengarnya berbicara, aku berinisiatif memberi saran agar dia menjadi pengacara, jurnalis atau anggota dewan. Kemampuan retorikanya, gestur tubuhnya, serta mimiknya benar-benar perpaduan komplit dari wanita terdidik, terhormat dan cerdas.

Wajar kalau ibu Rakryan dan saras ngebet punya menantu atau kakak ipar sepertinya. Kenapa aku harus rendah diri? Oh, kamu pantas direndahkan, Tsuraiyya. Siapa kamu jika dibandingkan Manora? Kamu hanya lebih anti sosial, lebih jutek, lebih sulit beradaptasi dengan lingkungan dan ceroboh.

Kalau Rakryan menikah dengan Manora, aku akan jadi orang yang pertama kali bertepuk tangan dan memuji mereka. Sungguh, melihat mereka berdua itu seperti melihat perpaduan antara kecantikan dan kekuatan. Siapapun yang melawan dua orang itu dijamin bertekuk lutut.

Apa aku mulai pesimis dengan perasaanku pada Rakryan? Sejujurnya, iya. Manusiawi kan? Manora sangat cantik. Wajahnya seperti gadis keturunan China dan Belanda. Tubuhnya mungil dengan kulit kuning langsat, berhidung mancung, mata sipit yang berwarna hijau, kemudian alis seperti bulan sabit yang natural tanpa perlu dilukis, juga tulang pipi yang tinggi. Berjilbab lagi. Dari fisik saja aku sudah kalah telak. Dilihat dari caranya berkomunikasi, mengemukakan alasan, meyakinkan pendengar, aku tertinggal jauh. Ibarat harus pergi ke planet Mars, Manora sudah sampai di sana, sementara aku baru memilih pesawat yang cocok untuk digunakan meluncur ke ruang angkasa.

Rakryan benar-benar bodoh kalau menolak gadis secantik, secerdas dan semenarik dia.
Dan aku kembali manyun. Perasaan tidak rela jika pria itu bersama wanita lain kembali menguat, umpama air bah yang meluap. Hah, tidak, ini bukan air bah. Ini gelombang Tsunami yang siap menggulung apapun saat datang.

Awas kalau Rakryan menaruh hati padanya. Aku bisa melakukan apa saja saat marah. Dan kalau itu terjadi, kalau sampai aku melabrak Manora, akan kubuat gadis itu menyesal seumur hidup. Maaf ya, pertengkaranku dengannya bukan hanya saling teriak, tuding-menuding atau jambak-jambakan. Kalau aku sampai cemburu dan tidak bisa mengendalikan diri, kekeraan fisik yang kulakukan hanya ada dua pilihan: rumah sakit atau batu nisan.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang