Bab 9 Perempuan Gerhana 4

30.3K 3.5K 413
                                    

Dua indra penglihatanku terbuka. Sesuatu yang berat menindih kepala, memaksaku untuk terus memejamkan mata. Aku mulai bergerak dan langsung mengaduh. Rasa nyeri menusuk-nusuk batok kepala, menciptakan nyeri yang teramat sangat. Menghalaunya, dua tanganku memijit pelipis. Apa yang terjadi padaku? Kenapa rasanya kepalaku seperti diberi beban 1000 Newton?

Otakku memeras energi untuk mengingat hal terakhir sebelum aku-eh, seingatku hanya meminum espresso sepulang tes kesehatan kedua. Oh ya, aku juga sempat bertemu Albar. Masuk dalam toilet lalu ponselku berdering. Ada panggilan dari Rakryan.

"Kapan pulang ke Lampung?" ia terdengar letih.

Aku menggaruk tengkuk, "Mau bareng lagi?"

Ada kasak-kusuk, kutebak ada seseorang yang memanggil Rakryan. Pria itu menjawab dengan gumaman lalu berdeham. "Kupikir, aku harus mengatakan ini padamu. Aku tidak keberatan menunggu, siapapun, berapa lama pun, selama aku mencintainya."

"Ini jawaban untuk 3 tahun?" Aku mencari kepastian. Ketika berpisah di parkir bandara Soetta, aku sempat mengatakan tiga tahun untuk menungguku. Aku perlu belajar dan berkarier.

"Apa harus diperjelas? Aku harus menemui seseorang sekarang. Nanti sore jam 16.23 di tempat yang sama seperti kemarin. Itu pun jika kamu mau pulang bersamaku." Rakryan terdengar menggodaku. Dan aku benar-benar tidak peduli setelah mendengar ajakan "pulang bersamaku". Kata pulang terdengar teduh dan hangat. Pulang seperti apa yang dimaksud pria itu? Ugh, selama melibatkan dirinya, aku bersedia dalam segala persepsi dan kondisi, tentu saja. Namanya juga jatuh cinta. Bhak! Omong-omong pertemuan yang dijanjikan Rakryan, sekarang pukul berapa?

Aku menoleh sekeliling hanya untuk menjumpai jam dinding menggantung di sudut timur dan jarumnya menujuk angka 16.41. Gawat! Aku terlambat. Sudah berapa lama aku tertidur dan ini di kamar siapa?

"Ouughh," aku mengerang kesakitan karena ketika mencoba duduk kepalaku kembali berdenyut-denyut nyeri. Kugagalkan niat untuk bangun. Ponselku di mana? Aku akan menghubungi Rakryan kemudian minta maaf.

Keningku mengerut saat meraba sesuatu di sisiku. Ini benar-benar bukan guling. Aku bergerak dengan kesulitan untuk melihat. Apa Bude menyusulku tidur? Eh, apa ini kamar Bude? Belum pernah sekalipun aku masuk kamar utama. Pertanyaannya adalah apa yang sudah terjadi sampai aku tidur di sini? Kenapa sulit sekali mengingat hal terakhir di kedai kopi tadi, sih? Jantungku langsung mencelos bermeter-meter mendapati seorang pria tidur di sebelahku. Dia bertelanjang dada. Dan dia-

"Yaa-yang mulia?" aku tergagap-gagap. Apa yang dia lakukan di sini dengan bertelanjang dad-eh, kemudian aku pun menyadari apa yang terjadi padaku. Kemana pakaianku? Tubuhku dikerat tipis-tipis melihat baju yang kukenakan teronggok di sudut ranjang. Ternyata, aku hanya mengenakan kamisol putih dan jeans. Keadaan yang hampir sama dengan Rakryan.

Apa?

Kepalaku menyentuh dashboard. Bantal yang semulai kupakai untuk mengganjal kepala, kini melayang ke nakas karena tergesek tindakan cerobohku. Kabar baiknya, bantal itu menjatuhkan lampu tidur. Kegaduhan yang kuciptakan dalam dua detik membuat Rakryan mengeliat. Pria itu mulai membuka mata. Awalnya ia mengernyit lalu membelalak shock.

"Apa yang kamu lakukan di sini, B?" pertanyaan pertama, bukan fokus, aku malah ternganga, menikmati ketampanan bukan main milik pria yang baru bangun tidur. Berantakan sih, namun siapa yang harus disalahkan karena kali ini aku melihat kekusutan yang prestisius? Eh, apa yang kupikirkan ini? Aku mendesahkan napas frustasi. "B, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Pertanyaan yang sama." Aku bersedekap. Mau sok kabur kemudian sembunyi pun sudah terlambat. Mata Rakryan menelisik kemudian turun ke dada. "Apa yang kamu lihat?" tanganku refleks menarik selimut. Whoaaa, gerakanku sukses menyibak penutup yang membungkus Rakryan. Lagi-lagi, aku mendengar bunyi glek dari tenggorokan saat melihat perut rata Rakryan. Tidak sixpact, tapi cukup datar dan begitu sempurna dipadu dengan dadanya yang bidang. Ini dosa bukan ya, Pak Ustadz? Tapi, kalau tidak dilihat kan mubadzir. Malu, aku menutup muka dengan jemari yang kurenggangkan.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang