Bab 9 Perempuan Gerhana 1

31.7K 3.6K 201
                                    


Ini tidak seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Maksudku begini, aku memang berinisiatif datang ke rumah Rakryan untuk meminta maaf atas tindakan bodohku, tetapi aku tidak menyangka harus duduk di kursi plastik yang diletakkan di bawah tenda samping rumah, menunggu waktu Rakryan luang untuk menemuiku. Suntuk sekali di sini. Kulirik jam tangan. Tak terasa sudah nyaris tujuh puluh menit menunggu. Pandanganku kembali beredar ke sekeliling, pada orang-orang yang bergerombol mengobrol. Ada yang membahas mengenai hasil survey elektabilitas calon bupati dan wakil bupati oleh peneliti Universitas Lampung, progress kampanye, juga tentang analisis keunggulan-kelemahan lawan politik yang dikemas serupa obrolan santai namun berbobot. Kopi-kopi mereka sudah lama habis. Dan aku kasihan pada paru-paru mereka. Sejak disuguhkan kopi, batang kretek itu tidak pernah padam di tangan untuk disesap penuh kenikmatan. Hingga kopi tandas, rokok-rokok itu dipercaya sebagai teman paling oke yang bisa menumbuhkan mood dan ide cerdas. Tapi ya mau apa? Aku tidak mungkin mencak-mencak dan menyuruh mereka berhenti merokok. Bahaya, bisa dikeroyok beramai-ramai. Bukankah sekarang aku tak punya teman sekongsi-sekadar pembela jika aku balik dihujat?

Mengusir gelisah, kudesahkan udara dari mulut. Asisten Rakryan-Galih-sudah masuk sejak tadi. Rasanya, aku ingin mengamuk, deh. Bagaimana kalau aku mematahkan 4-6 kursi
plastik? Kehebohan tentu akan memancing Rakryan keluar. Otakku sedang merencanakan tindakan vandalisme ketika seorang pria berpakaian hitam-hitam keluar dari pintu samping. Di tangannya ada kertas HVS dan spidol. Ia tergopoh-gopoh menemuiku.

"Maaf, Mbak. Pak Rakryan sedang ada meeting dengan tim kampanye. Mbak disuruh menulis pesan jika penting." Si Galih mengatakan sambil menyuguhkan wajah kecut.

Aku menggarisbawahi ucapannya. Jika penting? Apa selama ini obrolan denganku tidak berguna? Ugh. Galih mengulurkan benda bawaannya padaku. Aku sedikit memasang wajah jutek. Jadi, hanya begini saja, ya? Aku sudah merendahkan harga diri untuk datang ke sini. Tujuanku hanya mau meminta maaf. Aku tidak berniat apa-apa. Baiklah, Rakryan memang mengabaikanku dengan sengaja. Kalau begitu, apa aku harus menyembah dan berlutut mengemis perhatiannya? Tidak. Harga diriku tidak serendah itu. Aku pun meremas kertas itu kemudian berjongkok. Kubuka tutup spidol kemudian
kuhunjam-hunjamkan mata spidol pada paving block. Setelah spidol tumpul, aku menyerahkan pada Galih tanpa mengucapkan apa-apa. Meloyor begitu saja. Galih memandangiku dengan mata yang tidak terjemahkan, namun heran dan geli tersirat jelas.

"Mbak, kangen, ya?" Bisiknya setelah mengejarku beberapa langkah.

Mendecih adalah respons pertamaku. Kangen? Aku ingin mencekik Rakryan, itu baru benar. Galih menahan tawa kemudian berlari menjauhiku. Dasar. Tidak majikan, tidak pekerja, semua menyebalkan. Kenapa Tuhan tidak mencabut saja nyawa mereka? Hidup di muka bumi hanya bikin mata sepet.

"Aiya!" kepala Saras menyembul setelah kaca jendela mobil diturunkan. Dia buru-buru keluar setelah kendaraan roda empat yang ditumpanginya berhenti sempurna. "Tumben main? Ama siapa?" ia bertanya setelah berdiri di depanku.

"Ya. sendirian." Sahutku pendek. Aku melihat kening Saras mengerut. Apa yang sedang dia pikirkan?

"Barusan nemuin Abang?" Tanyanya polos.

Aku mengernyit. Rencananya memang bertemu Rakryan. Tapi.... Ish, ajari Abangmu untuk punya etika pada tamu. "Tidak."

"Saras, ajak kawanmu masuk." Seorang wanita berkerudung yang kutaksir usianya lima puluh satu tahun keluar bersama wanita cantik, berhijab juga. Kulit wajah wanita yang lebih muda itu sangat kinclong dan bening. Dia pasti habis berjuta-juta untuk perawatan. Aku segera mengelus pipi. Hiks, kebanting penampilanku.

"Iya, Ma." Saras menyahut kemudian kembali menatapku. "Masuk, yuk?"

Aku menggeleng dengan pandangan masih fokus pada dua wanita yang menenteng tas berjalan masuk ke rumah. Yang membuat perut mulas, puluhan orang berkerumun lalu
menyalami dengan takdzim.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang