Bab 9 Perempuan Gerhana 2

30.4K 3.8K 409
                                    


Sudah pernah kukatakan, Adnan adalah saudara bungsu almarhum ayah. Jarak usia kami tidak terlalu jauh, 5 tahun. Dia mengambil jurusan arsitektur. Sebagaimana kisah anak fakultas teknik yang lambat wisuda, Adnan pun demikian. Aku tidak tahu secara spesifik apa yang menghambatnya, namun hobi fotografi yang sejak lama digelutinya bisa jadi sebagai salah satu sebab dia belum lulus kuliah. Mungkin, dia juga malas. Dan baru tahun ini dia berencana menyelesaikan tugas akhir. Dari cerita Pak Tuan, suami Bude, semua itu dilakukan karena pacar Adnan minta menikah dan mengajukan syarat lulus kuliah sebelum hubungan mereka diresmikan. Mendengar cerita itu, aku tertawa sampai terpingkal-pingkal. Benar-benar tidak menyangka kalau Adnan ternyata begitu lemah dan tak berdaya di hadapan cinta.

Heuh, cinta?

Barangkali cinta menjadi alasan seorang pemalas menjadi rajin, jahat menjadi baik, yang semula tampil kumal menjadi necis dan wangi. Lantas dengan semua fenomena itu, apa perasaanku pada Rakryan adalah cinta? Aku tidak mengalami perubahan-perubahan itu, kan? Aku justru merasa jadi orang idiot yang tingkat kedunguannya berada pada level atas, tidak tertandingi. Selain bertingkah bodoh, seperti mencium Rakryan tiba-tiba, aku juga sering bertingkah konyol. Dan Rakryan hanya membalasku dengan senyum tertahan. Hal lain yang kualami selanjutnya, yaitu kekurangajaran jantung dan tulang-tulangku. Aku sebenarnya benci mengakui ini. Terlihat sinting karena cinta bukanlah kabar baik. Mungkin aku butuh curhat pada psikolog atau dokter spesialis penyakit dalam. Kali saja aku mengidap penyakit jantung atau tulang tidak sempurna. Oke, akan aku lakukan lain waktu. Bisa jadi nanti seusai tes kedua di STPI Curug. Dengan tahu hasil diagnosis dokter, aku pasti lega. Dan tentu lebih hati-hati setelah mendengar saran-saran tim medis.

Baiklah, sekarang aku punya tugas untuk kuselesaikan sebelum berangkat ke Banten sore nanti bersama Bude. Apalagi? Tentu saja mengantar Adnan mengumpulkan data tentang Arsitektur Tradisional Suku Lampung di Kampung Wisata Gedung Batin yang berada di kecamatan Blambangan Umpu. Kata Adnan, untuk hari ini cukup berkenalan dengan pemuka adat dan melihat-lihat dulu. Sebagai keponakan yang baik, aku tidak menolak. Lagipula, dekat juga jaraknya. Tidak sampai 20 menit. Apalagi kalau berkendara bareng Tsabit. Ups, bagaimana Tsabit sekarang? Aku semalam memutus percakapan dengan tega, nyaris tak punya nurani. Apa kuhubungi saja, ya?

"Adnan, bangun dulu. Begini kalau shubuh tidur lagi. Bangun, sudah siang. Aiya sudah bersiap mengantarmu." Bude berkata dengan nada enam oktaf, sedikit lagi memekakkan telinga.

Aku cengengesan. Bahagia karena akhirnya ada yang mencereweti Adnan. Kapan lagi gih cowok pemalas itu bisa menghargai waktu? Untuk tipe-tipe begini, Bude sudah mahir.

"Bu Tuan, aku masih ingin tidur." Adnan terdengar malas-malasan.

"Jangan memanggilku Bu Tuan!" Petir kalah dengan suara Bude. Kudengar, ada sesuatu yang dipukul. Lalu Adnan mengaduh kesakitan. Aku membekap mulut, tidak mau tawaku meledak saat ini juga.

"Bude, Ya Ampun!" Adnan masih mengeluh.

Tapi, bukan Bude kalau luluh dengan cepat. "Ya Allah, bukan Ya Ampun!"

"Bude! Aduuhh. Adduuhhh." Adnan terdengar kesakitan lagi.

Aku tidak perlu melihat kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah. Mendengar saja cukup melatih visual otakku. Dengan geli, aku merapikan rambut. Di sudut ranjang ada kerudung yang kusiapkan. Pakai tidak, ya? Rakryan pernah berpesan agar aku-

Kenapa harus mengingat pria arogan itu?

Pintu kamarku diketuk, ada Adnan yang masih bermuka bantal. Dia berjalan malas ke arahku kemudian ambruk di ranjang. Ditariknya selimut yang sudah kurapikan. Astaga, dia ke sini hanya untuk pindah tidur.

"Tut, mandi gih biar seger." Kataku sambil membuka lipatan kerudung. "Aku tunggu sepuluh menit. Kalau enggak, jangan harap aku mau nganterin."

Dia hanya menggumam.

Tsuraiya AghniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang