II

63 11 0
                                    

"Lo gapapa?" Tanya Jesse.

Iris mengangguk, tetapi sahabat lelakinya tentu tahu bahwa ia tidak tidak apa-apa. "Gue yakin lo ga nyuri soal ujian itu, kok."

Untuk sesaat gadis bermata hazel itu terdiam. Iris kembali terisak.
"Tapi apa gunanya kalo lo percaya, ketika yang lain gak?"

Kini giliran Jesse yang terdiam. Ia tahu bahwa memang kepercayaannya tidak ada gunanya jika dibandingkan dengan seisi sekolah yang menuduh Iris sebagai pencuri soal ujian mid semester tersebut. Keduanya duduk di kursi ayunan halaman belakang rumah Iris dalam diam, menyaksikkan matahari mulai menghilang di balik tirai senja.

---

Iris tak ingin ke sekolah. Jesse tahu itu, sehingga ia menasihati Iris agar tidak usah masuk. Tetapi Iris bersikeras untuk tetap hadir. Jesse hanya bisa pasrah melihat tingkah sahabatnya itu. Toh, apa gunanya ia berusaha bersikap baik ketika semuanya sudah percaya kepada kebohongan yang tersebar, lebih dari mereka percaya dari perkataan Iris?

Jesse berjalan dengan Iris melewati koridor menuju kelas mereka. Ketika mereka lewat, semua murid langsung menepi, memberi mereka jalan untuk lewat. Bisik-bisikkan kembali terdengar, dan mata Iris kembali berkaca-kaca. Jesse yang menyadari hal tersebut segera menarik tubuh kecil itu agar lebih dekat dengan tubuhnya. Iris membenamkan wajahnya di bahu Jesse, dan Jesse hanya membiarkannya menangis perlahan sampai ke kelas.
Iris berusaha mengusap kedua matanya dengan tangan, tetapi bekas merah di matanya tentu tidak bisa hilang dalam sekejap. Ia merasa.. Tidak berguna.
Untuk pertama kalinya di dalam hidupnya, dia merasa tidak berguna.

Selama ini dia selalu menjadi pemimpin dalam kelompok apa saja, menjadi yang terkemuka saat mengemukakan pendapatnya, seorang murid yang baik dan pintar di kalangan para guru. Sifatnya juga ramah dan periang, membuatnya disenangi teman-temannya. Namun sekarang semua berubah. Hanya dengan satu kebohongan.

---

"Selamat makan," Jesse menyahut.

Ketiga temannya yang duduk di meja yang sama tidak membalas. Iris sibuk berkalut dengan pikirannya, Kenya dengan ponselnya, sedangkan Sophie melamun. Jesse mendesah melihat kelakuan temannya dan memakan perlahan nasi gorengnya. Di hadapannya, Iris sedang memakan bubur ayam yang sudah mulai dingin. Bubur ayam yang rasanya gurih dan asin itu menjadi asam dan pahit saat bertemu dengan lidah Iris.
Suasana canggung. Biasanya mereka akan bercengkrama dan tertawa, tapi tidak kali ini. Tiba-tiba Sophie berkata,
"Gue duluan, ya."

Ini aneh. Pikir Jesse. Biasanya dia yang paling tidak mau kita bubar.

---

"Ini adalah hasil nilai ulangan mid semester kalian."
Para murid mengeluh, khawatir dengan nilai mereka masing-masing.
"Rea, 85. Bagus, lain kali belajar lagi. Nico, 67. Kamu tidak belajar, ya? Linas, ....." Sang guru terus melanjutkan dan akhirnya berhenti sebentar. "Iris. 98."

Sebenarnya itu normal bagi Iris untuk mendapat nilai di atas sembilan. Tetapi karena rumor yang baru beredar, semuanya menjadi kusam. Hilang. Gelap.
Walaupun guru-guru sudah jelas mengklarifikasi bahwa soal ujian telah diganti, para murid tetap beranggapan Iria mendapat nilai bagus karena curang. Padahal dia tidak. []

Sorry. [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang