Kelas dan Meja Paling Belakang

197 7 4
                                    

MOS atau Masa Orientasi Siswa telah usai. Betapa bahagianya aku tak lagi dimarahi kakak kelas. Aku tak lagi harus buat topi dari kertas asturo warna pink dan berbentuk kerucut. Aku tak lagi memakai tas canglong dari kain bekas terigu. Aku tak lagi pakai kalung dari permen-permen yang kujahit di malam hari bersama ibu. Dan, aku tak lagi harus berangkat habis subuh, lalu menghabiskan hari dengan berjemur di lapangan upacara bersama bentakan-bentakan dari Kak OSIS... Huh!

Tapi, mau bagaimana lagi? Ya. MOS itu wajib, kata ayah. Itu sudah menjadi kebiasaan turun temurun sejak dulu... Meskipun sebal, tapi, MOS memang penting. Dari sini pula aku tahu semua tentang sekolahku, kini. Aku kini tahu bahwa seluruh kelas di sekolahku berjumlah 24 kelas, kantor guru, laboratoium-laboratorium, perpustakaan, ruang keterampilan, ruang osis, 5 warung kantin yang berjajar, tempat parkir, hingga toilet! Hmm.. Aku hapal semua!

"Hei, Erina!" Sebuah tangan menepuk pundakku. "Masih ingat aku kan? Galuh!"
"Ya iyalah, aku ingat... Masak udah pikun..." dan kami pun tertawa terbahak-bahak.
"Tau nggak Rin?" Tanyanya.
"Tau apa?" Jawabku.
"Ih... belum tau ya kamu?"
"Apaaa... Jangan bikin penasaran ah..."
"Hehehe... Hmmm... Iya deh... Ternyata kita satu kelas lhoo..." Galuh nyengir.
"Hah, kita satu kelas? Emang udah pembagian kelas ya? Kapan? Dimana pengumumannya? Kok aku belum lihat sih..." Kucerca Galuh dengan pertanyaan.
"Weitss, sabar boss, sabar... Makanya, kamu baca dulu sana di papan pengumuman..." Katanya sembari tertawa.
"Oke! Aku kesana dulu..." Aku langsung lari, kutinggal Galuh.
"Eh, Erina! Tungguin dong... Ihk..." Kulihat Galuh mengejarku. Aku tertawa melihatnya.

*****

Aku dan Erina adalah orang keenam dan ketujuh yang sudah berada di kelas. Hari ini adalah pertama masuk sekolah. Ah, masih saja aku menjalankan tradisis lama: berburu meja! Ya. Seperti anak SD dulu, di hari pertama masuk sekolah, siapa yang datang duluan boleh memilih meja sesukanya. Dan kini, aku akan memilih meja.. Hore!!! Kataku dalam hati.

"Aku duduk di sini! Ayuk Erina, sini.." Galuh mengajakku duduk di meja pojok kiri depan, tepat di depan meja guru. "Mami, tadi pagi bilang, kalau aku harus duduk di meja paling depan..." Kata Galuh.
"Ogah ah..." Jawabku.
"Kenapa?"
"Aku nggak suka aja Galuh..."
Dan, makin lama, kelas makin ramai. Aku belum juga menentukan meja yang akan kupilih. Akh... Aku bingung!

***

Kelasku di lantai dua. Kelas paling pojok... Di lantai dua itu, ada tiga kelas yang semuanya kelas bahasa. Satu kelas X, XI dan XII Bahasa. Lantai dua deretan kelas bahasa itulah yang kemudian memberikan julukan "rumpun bahasa" untuk kami.

Aku senang. Ukuran kelasku cukup luas. Ukurannya 9x10 M. Kulihat, ada 14 meja yang berjajar dalam empat baris.. Jadi kemungkinan, ada 28 siswa yang akan menempati kelas ini.

Jam, hampir menunjukkan pukul tujuh. Satu persatu siswa mulai masuk ke ruang kelas. Mereka pun mulai memilih meja dan kursi yang akan mereka duduki. Akh.. Aku belum juga memilih tempat! Aku mencoba berjalan ke belakang kursi. Kulihat papan tulis dari belakang. Aku membaca dan memperkirakan sudut. Dan... Ya, aku sudah tahu, dimana tempat dudukku! Dari tempat duduk itu, aku dapat melihat papan tulis dengan jangkauan mata yang lebar. Aku bisa melihat teman-teman dalam jangkauan lebar. Aku bisa melihat meja guru dengan jelas... Ya... Di situ! Di paling belakang! Paling belakang tengah!

***

SURAT TANPA TITIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang