Prolog

3.6K 160 3
                                    

Tidak ada salahnya meninggalkan negara dengan kekaisaran Ottoman ini di musim dingin. Sudah terhitung lima tahun ini sejak ia meninggalkan tanah air. Menuntut ilmu di negeri orang dan meninggalkan orang tuanya serta kehidupan lamanya.

Dengan tergesa-gesa ia mengejar bus untuk sampai ke tempat tinggal sementaranya disini. Setelah memasuki sebuah bus yang lumayan kosong dan duduk di bangku agak belakang, dengan bergidik ia merapatkan mantel hitamnya yang tertutupi kerudung berwarna sama yang panjangnya hampir  menyusul jubahnya.

Sejak tiba di Istanbul beberapa tahun yang lalu, ia telah beralih ke sesuatu yang baru, sesuatu yang menjadikannya Asma yang berbeda. Niqab dan pakaian longgar hingga menyentuh tanah ia kenakan. Tak lupa sarung tangan dan kaus kaki. Serta hasratnya pada warna hitam saja. Bukan karena apa, ia hanya ingin lebih dekat dengan Rabb-nya.

Dari jendela bus itu ia menengok, keadaan di luar hanya terlihat warna putih. Ya, salju pertama telah turun dari kemarin, walaupun salju Turki tidak sedingin Eropa, namun lumayan menusuk tulang juga.

Hujan, aku masih suka hujan..
Dari dulu hingga sekarang hujan selalu sama
Selalu membawa tenteram, damai, dan kesejukan...

Perlahan tangan berkaus hitam itu menengadah ke langit, keluar dari jendela bus. Dingin dirasa saat butir-butir salju mengenai kaus tangannya, mencair, dan sampai ke kulitnya..

Tapi nampaknya hujan disini berbeda..
Dalam bentuk yang memadat..
Dan seputih awan di langit sana…
Yang berbeda pasti..
Tak ada lagi sosok itu…
Aku tak tahu bagaimana kabarnya disana…
Yang pasti sampai jumpa di kemudian hari…
Walaupun nanti kita tak mungkin seperti dulu…
Namun jadilah seputih salju dan setitik gerimis..
Yang tak mungkin menyalahkan awan untuk turun..
Walau dalam bentuk yang berbeda dan awan yang sama..

Tepat saat bus berhenti dan ia diharuskan untuk turun, ponselnya berdering. Dengan tergesa-gesa antara turun dan menjawab panggilan ia melangkah keluar bus.

Sesampainya di luar bus, hendak menjawab ponselnya yang sudah tak berdering lagi. Dilihatnya di layar. Ibunya di Indonesia menelepon.

Asma tahu apa yang hendak dibicarakan ibunya itu. Menyuruhnya untuk pulang karena sudah selesai masa kuliahnya. Dan tentunya karena sudah menanti disana calon imamnya.

Benar, dia telah dikhitbah…

AsmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang