4

1.2K 85 8
                                    

Gadis berkerudung lebar itu memarkirkan sepedanya di tempat parkir sekolah. Rupanya hanya dia satu-satunya yang membawa sepeda ke sekolah. Namun dengan tak acuh ia tetap bersepeda ke sekolah. Toh tidak ada larangan yang menyebutkan hal tersebut.

Gadis itu kemudian pergi menuju lorong angkatannya. Kelasnya berada di ujung sehingga harus melewati banyak kelas lain. Ketika melewati dua kelas sebelum kelasnya, tampak banyak siswi lain yang menggodanya, namun ia tetap tak acuh. Sampailah ia di kelasnya, sejenak berhenti di depan bangkunya sendiri. Melihat ke bangku samping kirinya sambil membatin.

"Assalamualaikumwarahmatullaahiwabarakaatuh," sapa laki-laki yang duduk di bangku di sebelah kirinya.

"Waalaikumsalamwarahmatullaahiwabarakaatuh," ujar gadis itu sambil duduk di bangkunya. "Hmm... Rafi sudah baikan?" tanyanya sambil duduk.

"Sudah kok, ma." jawab Rafi. "Terima kasih telah bertanya,"

Asma pun hanya tersenyum. Sebenarnya ia hanya ingin mencoba nyaman di sekolah ini. Dan ia juga ingin bersikap ramah dan tidak sombong seperti yang dikira teman-temannya.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka lebar dan masuklah seorang anak laki-laki lain. Memandangi bangku Rafi kemudian setengah berlari kesana.

"Woy bro... kemana aja lo kemarin?" tanya Revan sambil menggeser bangku di samping kiri Rafi untuk duduk.

"Wah... Mesti gara-gara lo hujan-hujan battle sepak bola sama si Adit kan?" tanya Revan lagi. Yang ditanyai memalingkan muka ke kanan, melihat subjek yang dikhawatirkannya. Dan ia tidak mau orang itu mendengar apapun mengenai kehidupannya yang rumit. Kemudian Rafi mengangguk kepada Revan.

Asma mau tak mau ikut mendengar apa yang dibicarakan dua orang di samping kirinya. "Battle? Rafi punya musuh? Kalau dipikir-pikir bisa jadi, karena Rafi kan juga punya geng. Biarlah urusan cowok. Beri mereka hidayah Ya Allah!"

***

Sepulang sekolah aku tidak ada kegiatan apa-apa, sehingga aku bergegas untuk pulang. Sore ini aku ada jadwal menghafal di majelis ta'lim dekat rumah. Setelah sampai di rumah ayah pun juga sudah tiba di rumah untuk makan siang bersama. Segera kuganti seragamku dan ikut makan siang dengan keluarga.

Ayahku memang selalu pulang setiap makan siang di kantornya. Karena selain beliau ingin berkumpul dengan keluarga, juga karena beliau tidak mau berikhtilat atau campur baur dengan wanita. Setelah, makan siang beliau kembali lagi ke kantornya.

Kami sangat menyayangi ayah. Jika ibu adalah madrasah bagi anaknya, maka ayah adalah kepala sekolahnya. Beliau telah membimbing kita hingga seperti sekarang ini. Begitu pula kami mencintai bunda yang telah membesarkan kami. Tak dapat dipungkiri betapa besar jasa mereka berdua dalam hidup kami.

Kalau kata tetangga-tetangga keluargaku itu harmonis. Tidak ada pertengkaran dan juga berselisih paham. Apalagi kedua orang tuaku. Bundaku bahkan tidak pernah membantah perkataan ayah. Beliau yakin akan jalannya ke surga salah satunya dengan berbakti kepada suami. Anak-anaknya pun tidak pernah membangkang kepada orang tua. Setiap kami mengambil keputusan, kami memohon restu kepada ayah dan bunda. Karena kami saling percaya. Dan kami juga percaya insya Allah, Allah akan menyatukan kita di jannah-Nya kelak.

***

Seperti yang kuceritakan tadi, habis ashar aku, Aisyah, dan Bang Umar pergi ke majelis ta'lim dekat rumah. Kami naik motor bertiga untuk sampai kesana. Disana aku dan Aisyah akan menghafal Al-Qur'an, sedangkan Bang Umar yang sudah hafidz menjadi musyrif disana. Akhi Ali juga menjadi musyrif disana, beliau juga sama seperti Bang Umar yang telah menuntaskan tiga puluh juz.

Sesampainya di depan gerbang, Bang Umar pun memarkirkan motornya di parkiran. Disana tampak pula Akhi Ali tengah celingukan mencari seseorang, mengacuhkan Bang Umar yang melambaikan tangannya.

"Assalamualaikumwarahmatullaahiwabarakaatuh. Tumben nih di depan. Nyari siapa sih?" tanya abangku sambil mengalungkan lengannya ke leher Akhi Ali.

"Eh ada Umar, Ukhti Asma dan Aisyah," jawabnya sambil tersenyum.

"Eh menjawab salamnya hukumnya wajib loh.."

"Waalaikumsalamwarahmatullaahiwabarakaatuh. Astagfirullah sampai lupa," Akhi Ali pun membalas dengan tepukan di pundak Bang Umar.

"Oiya Asma, Icha... Ngapain lagi masih disini? Masuk sana!"

"Aisyah bang..." adikku yang agak genit ini memanyunkan bibirnya tidak terima. Lagipula Bang Umar juga iseng memanggil Aisyah dengan panggilan imutnya dulu.

"Iya Aisyah.. sudah sana kalian ke dalam"

Kami pun pergi ke dalam sambil Aisyah menyeletuk betapa gantengnya Akhi Ali. Kalau menurutku, Akhi Ali itu termasuk laki-laki murah senyum, senyumnya juga manis. Aku mau mengatakan cogan, tapi aku tidak tahu kriteria ganteng itu seperti apa. Jadi pokoknya Akhi Ali itu oke lah.

Lamunanku buyar tatkala mendengar celotehan Aisyah. "Aisyah kan jauh umurnya dari Akhi Ali.. Jadi yang nikah sama Akhi Ali Ukhti Asma saja ya.."

***

Kebetulan halaqah atau kelompokku pulang seperempat jam lebih awal karena musyrifah yang menyimak ada keperluan, jadilah aku di sisi gerbang menunggu Bang Umar dan Aisyah pulang. Masih di dalam gerbang karena was-was ada orang yang ingin bertindak jahat. Atau biasanya ada cowok-cowok jahil suka menggoda perempuan berkerudung. Kalau yang pakai kerudungnya rapi pasti disapa "Assalamualaikum neng.." kalau kerudungnya ngeplak-ngeplak tubuh pasti disiulin "ciuuwwiit".

Tapi memang agak horor di tepi gerbang sendirian. Apalagi sekarang beberapa meter di depan sana, tepatnya di pinggir jalan ada dua orang laki-laki sedang berbincang-bincang. Yang satunya duduk di motor gede. Terbersit di pikiranku preman-preman di telenovela layar kaca yang mengendarai motor gede seperti itu. Rasa takut pun menyerangku.

Ya Allah Ya Waliiy, Engkaulah Yang Maha Pelindung, Lindungilah Asma Ya Allah..

Entah untuk keberapa kalinya berkomat-kamit menyebut nama Allah tak lupa juga sholawat. Karena do'a kita masih menggantung di langit sebelum dibacakannya sholawat.

Tapi samar-samar laki-laki yang berdiri tadi berjalan ke arahku, hendak masuk ke dalam. Sepertinya dari postur tubuhnya aku kenal deh. Setelah tersinari lampu gerbang wajahnya terlihat. Akhi Ali dengan senyumnya berjalan melewatiku tanpa memandang sedikitpun karena mungkin takut tersebar fitnah. Hampir saja Akhi Ali membuat jantungku copot. Salah siapa tadi gelap-gelapan, kan jadi takut sendiri.

Ketika Akhi Ali sudah menjauh dari tempat ini, si pengendara motor tadi masih di tempatnya. Saat tak sengaja melihat ke arahnya kukira dia juga memandangiku. Kemudian dengan helm yang tertutup ia melambai ke arahku kemudian pergi.

Siapa ya? Apakah aku mengenalnya? Kalau teman-teman di sekolah rasanya tidak mungkin. Tempat ini saja mungkin tidak ada yang tahu. Tapia apa mungkin itu dia? Lalu kenapa dia kesini?

AsmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang