9

870 75 1
                                    

Sudah tiga hari gadis itu menatap pandangannya kosong, membuat Umar tak tega di hatinya. Berkali-kali ia bertanya kepada adiknya yang beranjak dewasa itu, namun hanya dijawab sekenanya. Bagaimana tidak khawatir, sebelum kemah selesai, ia sudah dihubungi untuk menjemput adiknya. Dan setelah sampai di bumi perkemahan ia mendapati wajah adiknya lebam dan penuh luka. Juga kondisinya yang mengenaskan.

Umar membawa pulang adiknya di rumahnya, bukan di rumah orang tuanya. Ia beralasan bahwa Asma lagi ada kebutan jam tambahan untuk beasiswanya, sehingga harus datang lebih pagi, dan rumah Umar lebih dekat dengan sekolah Asma. Nampaknya pula Asma pada hari kelima sudah ingin kembali ke sekolah. Diantarkannya hari itu ke sekolah, ia tidak tega jika Asma yang belum pulih seutuhnya itu harus mengayuh sepedanya berangkat sendiri ke sekolah.

Sesampainya di sekolah adiknya ia mendapati banyak mata tertuju pada Asma. Genggaman Asma pada pinggang Umar semakin mengencang, tanda bahwa adiknya itu takut. Ia kemudian turun dari motor kemudian menuntun adiknya untuk turun dari boncengan.

"Asma mau abang temenin sampai dalem?" tanya Umar sambil terus memegangi lengan Asma. Yang ditanyai hanya menggeleng lemah. Ia tahu Asma sebenarnya masih belum siap kembali bersekolah, tapi mungkin ia tidak enak dengan abangnya, takut tertinggal pelajaran, atau ada hal yang lain yang belum Umar ketahui.

***

Aku berjalan di lorong yang sama, lorong kelas sebelas yang selalu menakutkan bagiku. Apalagi sejak beberapa hari yang lalu membuatku semakin takut untuk berjalan di lorong ini.

Geng Kaila, Cindy, Carla, Ola, dan Saras berada di depan kelas. Aku menundukkan pandangan takut. Apalagi dari tadi banyak sekali pandangan tertuju padaku. Langkah kakiku mulai melambat seiring dengan jarakku dengan geng itu yang kian mendekat. Air mataku sudah berada di pelupuk mata.

Kulihat Kaila berdiri dari duduknya, seperti hendak menyambutku saat langkahku tiba-tiba berubah cepat. Bukan, bukan karena keberanianku yang mulai muncul. Tapi karena sebuah lengan yang merangkul bahuku. Tepatnya bukan bahu, tapi ranselku. Mungkin tidak ingin menyentuhku untuk kedua kalinya. Rafi membisikkan kata-kata ke dalam telingaku yang bisa kudengar dengan jelas, "Tutup matamu Asma,"

Aku pun menutup mataku. Ia menuntunku ke kelas. Tak kurasakan apa-apa. Dan kurasa tidak ada tanggapan apapun dari geng Kaila. Hingga ia menyuruhku membuka mata barulah aku membuka mataku yang ternyata sudah sampai di kelas.

"Reg, pindah dong. Kembali ke habitat sono!" kata Rafi menyuruh pergi Rega dari bangkunya sambil menunjuk bangkuku alias bangku Rega dulu. Kemudian saat Rega pergi, ia mempersilahkanku duduk di sampingnya.

Semuanya terasa lambat.
Hidupku terasa lambat.
Berat....
Aku tak percaya lagi kepada semua.
Semuanya aku benci.
Aku tak percaya takdir berlaku seperti ini kepadaku.
Ya Allah mengapa kau timpakan ini kepadaku?
Kurang cukupkah segala tirakatku?

Kutuliskan kata-kata itu di buku notes tempat aku menulis catatan-catatan kecil. Air mata turun mengenai pipiku yang menggembul bengkak. Bayang-bayang itu masih terngiang-ngiang di benakku.

Malam itu Fatma membangunkanku, memintaku menemaninya pergi ke kamar kecil. Setelah sampai di kamar kecil dan Fatma masuk ke dalamnya tiba-tiba dari belakang sekumpulan orang bertopeng menutup mulutku,membebat tangan dan menarik-narikku. Aku pun menjerit sekuat tenaga. Aku meronta. Tubuhku digotong ke dalam hutan. Aku menutup mataku. Tidak berani melihat apa yang terjadi. Aku takut. Badanku lemas. Hingga mereka berhenti dan menurunkanku di sebuah tempat. Yang kudengar hanya suara deru air mengalir. Mereka menyandarkanku pada pohon dan mengikatkan tanganku disana. Air mataku sudah habis rasanya. Aku tetap meronta dengan mata tertutup, tak berani melihat apa yang terjadi. Hingga aku merasakan semua orang mengeroyokku. Menarik-narik hingga sobek pakaianku. Aku menjerit. Aku takut. Kemudian kurasakan pula benda dingin menyentuh pipiku. Perih seakan benda tajam itu menguliti pipiku ini. Serangan demi serangan terjadi. Mukaku mereka apakan aku tak tahu. Hingga mereka pergi baru aku membuka mata. Kutemukan diri ini di sisi sungai. Tak sengaja bertemu dengan tatapan seseorang dengan wajah mengerikan di air sungai yang bening. Pantulan diriku sendiri. Di bawah sinar rembulan aku hanya pasrah kepada Allah. Bibirku terus berdzikir kepadanya. Aku tak bisa apa-apa. Kututup mataku lagi hingga semuanya benar-benar gelap di balik gelapnya tutupan mataku. Aku tidak sadarkan diri.

***

Pandangan mata milik seorang lelaki itu masih tertuju pada gadis di sebelahnya, dari mata pelajaran pertama, gadis itu masih telungkup di meja, sesekali bahunya bergoyan tanda ia mengisak. Ia tahu ini mungkin berat buat Asma, tapi yang terpenting ialah kehadirannya di sisi gadis itu.

Bel istirahat telah berbunyi, gadis itu masih disana, juga masih menelungkupkan wajah. "Ma..." Rafi mencoba memanggil Asma. Tidak ada respon darinya. Ia pun kemudian mendekat ke arah Asma, memanggil lagi namun dengan suara agak dikeraskan, "Asma, nggak sholat dhuha?"

Gadis itu terperanjat kaget dan menatap Rafi, "Ya?" tanyanya dengan nada lirih karena tidak mendengar pertanyaan Rafi tadi.

Rafi berfikir mungkin Asma masih belum punlih seutuhnya dan dia pasti belum enak untuk diajak kembali ke kehidupan lamanya. "Asma ikut Rafi yuk?"

"Kkemana?" tanyanya agak gagap dan seperti orang habis nangis.

"Sudah.. ayoo..."

Mereka berdua pun berjalan beriringan. Keluar dari pintu kelas Asma menunduk, malu pada wajahnya. Melewati lorong demi lorong hingga sampai ke musholla. Tapi bukan mushollah yang mereka tuju, yaitu di belakangnya. Ada sebuah taman sekolah yang ada greenhouse, tanaman-tanaman hias, dan kolam kecil dengan pancuran. Rafi pun mempersilahkan Asma duduk di rumput.

"Maksud Rafi apa mengajak Asma kemari?" tanya Asma duduk agak jauh dari Rafi.

"Cari udara segar saja. Disini enak tau..." ujar Rafi asal-asalan agar Asma tersenyum kemudian ia meregangkan tubuhnya kemudian menumpukannya pada tangan di belakang.

Sedangkan Asma tidak dapat berpikiran begitu. Yang ada di pikirannya takut. Mendengar suara air bergemericik di kolam membuatnya tak tenang. Bayang-bayang itu muncul lagi. Makhluk yang dilihatnya di sungai itu membayangi pikirannya, walaupun ia tau itu dirinya sendiri. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Mencoba menghalau bayangan yang muncul.

Rafi melihat ke arah Asma panik. Berkali-kali ia memanggil Asma tapi tidak disautnya, gadis itu terus menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata "tidak" berkali-kali pula. Hingga ia melihat gadis itu kelelahan sendiri dan jatuh di pangkuannya.

***

Rafi tidak habis pikir, siapa yang memperlakukan Asma sampai segitunya. Hingga gadis itu trauma berat dan wajahnya menjadi rusak. Yang mengubah Asma yang suka terhadap air menjadi anti air. Dan yang mengubah Asma yang percaya terhadap dirinya menjadi takut menjadi diri sendiri.

Tadi siang sewaktu ia menunggui Asma di UKS, abangnya datang untuk menjemput. Ia meminta waktu sebentar dengan Rafi, ingin berbicara empat mata dengannya.

"Kamu teman dekatnya Asma?" tanya Umar setelah memperkenalkan dirinya pada Rafi.

"Hmm... tidak dekat kok," jawab Rafi gagap karena ia yakin abangnya juga melarang Asma berteman dengan laki-laki.

"Tidak apa-apa kok kalau dekat. Aku mau minta tolong ke kamu, Raf,"kata Umar tanpa basa-basi. "Sebenarnya orang tua kami belum tau mengenai hal ini. Bukannya tidak mau, tapi Asma juga merupakan kewajibanku. Namun mungkin kau yang lebih bisa dalam hal ini. Bisakah kamu membantuku menjaga Asma?"

Kala itu Rafi sangat bingung ingin menjawab apa. Dalam hatinya ada keyakinan, namun juga ada keraguan apakah bisa ia menjaga Asma dengan baik. Hingga ia akhirnya menyanggupinya.

Dan untuk kedua kalinya ia tersenyum sambil berpikir, ini akan membuatnya semakin tidak bisa jauh darinya.

AsmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang