1

2.1K 135 6
                                    

Cewek bertubuh mungil itu tak henti-hentinya mengayuh sepeda berkeranjang rotannya. Maklum, jalanan masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Namun rupanya gadis itu tak mau ke sekolah dulu. Dia membelokkan sepedanya ke sebuah tempat. Sebuah taman di tepi sungai besar yang alirannya sangat deras. Di samping sebuah perosotan tua ia memarkirkan sepedanya.

Mata itu membulat lebar, berbinar. Asma suka terhadap air. Ia suka berangkat pagi hanya untuk melihat air turun dari sebuah bendungan dan masih tertutup kabut tipis. Rasanya sejuk sampai-sampai bisa dirasakannya kesejukan itu dari balik pagar besi di tepi sungai.

Namaku Asma. Durriyatul Asma. Yang artinya mutiara yang mulia. Aku suka air. Aku suka tetesannya yang tampak seperti mutiara. Entah itu pada daun saat embun pagi atau pada genting pada saat hujan. Intinya aku suka rahmat Tuhan. Menurutku rahmat Tuhan tidak pernah tidak adil. Seperti Dia memberikan hidup ke semua orang. Tanpa memilih orang itu berbakti pada-Nya atau tidak.

Setelah kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul setengah tujuh, baru aku beranjak dari tempat ini. Jalanan mulai terlihat ramai oleh anak-anak sekolah atau orang-orang kantoran. Seperti pagi ini, ketika hendak menyeberang ke sekolah ada motor yang menyerempetku hingga aku terjatuh. Alhasil siswa-siswi yang ada di sekitar depan sekolah melihatku dan menertawaiku. Si pengendara motor pun tak berhenti sejenak pun. Tapi kutau itu motor siapa. Abdurrafi’ Hadi.

***

Alhamdulillah aku dilahirkan di keluarga yang agamanya tidak hanya sebagai status sosial. Kami mempercayai islam bukan sekadar pemikiran, tapi ada di hati dan akhlak. Namun aku bersekolah di sekolah biasa, bukan sekolah basis agama. Bukannya tidak mau, tapi karena aku tidak mampu jika harus berada di asrama.

SMA Bening Mulya. Tidak semua siswinya memakai kerudung. Pemandangan pacaran dan geng pun dianggap biasa. Disini aku yang biasanya dipandang miring dan aneh. Seorang siswi berkerudung lebar yang tidak pandai bergaul serta tidak mau dekat ataupun menyentuh laki-laki. Sehingga aku biasanya enggan mencium tangan guru pria. Mengenai kerudungku, karena diharuskan memakai kerudung segiempat maka aku memakai yang ukuran seratus lima puluh sentimeter. Lumayan lebar hingga menutupi paha.

Aku berjalan di koridor kelas sebelas dengan langkah sedikit terseok-seok akibat jatuh tadi. Naasnya kerudungku pun juga kotor khas aspal jalan. Dan seperti biasa banyak yang melihatiku, bahkan sekarang ditambah cekikikan. Dan seperti biasa gerombolan Kaila menghentikanku dari depan kelasnya.

“Assalamualaikum ustadzah, dari mana nih? Dari got ya?”

Menjawab salam hukumnya wajib walau sedongkol apapun kalian.

“Waalaikumsalamwarahmatullaahiwabarakaatuh”

Mengucapkan atau menjawab salam secara lengkap dapat 30 pahala!

Cindy, teman Kaila memutari badanku dan menarik-narik kerudung belakangku yang kotor. Hingga tersingkap sampai pinggang. Langsung kutepis tangannya refleks. Kan tidak hanya perempuan saja yang ada di koridor ini. Aku panik, Kaila dan kawan-kawan terbahak-bahak.

Segera aku beranjak dari tempat itu. Untung kelasku hanya berjarak satu kelas saja. Masih dalam muka panik dan malu aku masuk kelas.

Aku berhenti dulu, mencari bangku yang kosong. Tampaknya aku sudah terlambat hingga bangku sudah terisi semua. Hanya tersisa satu di depan. Entah kenapa anak-anak suka bangku di belakang. Menyisakan anak-anak cupu dan culun seperti aku yang di depan.

Hendak duduk aku kaget, bangku samping ada Rafi duduk dan tengah berjongkok menali sepatu. Kemudian ia mendongak menatapku. “Assalamualaikumwarahmatullaahiwabarakaatuh” ucapnya sambil tersenyum.

“Waaalaikusasalamwarahmatullaahiwabarakaatuh” jawabku sempat tergagap. Duh malunya aku. Malu yang tadi saja belum hilang, pasti mukaku bertambah merah.

Kemudian ia berpaling, sibuk melihat ke belakang dengan teman-temannya.

Aku pun duduk. Baru kali ini aku duduk di samping laki-laki. Walaupun bangkunya itu satu set sendiri begitu, jadi tidak benar-benar satu meja. Dan juga jaraknya sangat lebar sekitar satu meter. Tapi kan aneh. Apalagi biasanya Rafi yag termasuk anak popular duduk di deretan belakang. Eh, tidak hanya pada Rafi saja sih aku merasa aneh seperti ini, sama semua laki-laki pun sama saja.

Mengenai Rafi lagi, dia itu cukup populer. Setahuku, dia memimpin sebuah geng laki-laki yang sangat terkenal dan ditakuti di sekolah. Entah apa saja yang mereka lakukan aku kurang tahu dan mungkin tidak mau tahu.

***

Hari ini hari pertama semester dua. Jam pelajaran belum efektif seperti hari-hari biasa yang sibuk. Mata pelajaran sebelum istirahat kosong. Jadi hampir dua jam kedepan anak-anak akan bosan di kelas. Mungkin bagi yang mempunyai keasyikan sendiri akan merasa hal seperti ini surga dan begitu pula sebaliknya.

Aku hanya duduk di bangkuku sambil membaca buku bacaan favoritku. Tidak ada yang bisa memotivasi sehebat “Laa Tahzan” karya Dr. Aidh Al-Qarni. Sudah beberapa kali kutuntaskan membaca ini dan juga banyak kutipan-kutipan yang kutulis di dinding kamar tidur.

“Yaelah… Itu buku apa ganjelan pintu.. gedhe amat,” ujar Revan iseng sambil berdiri di samping Rafi. Memang Revan satu geng dengan Rafi, mungkin mereka juga bersahabat, seringkali kulihat mereka kemana-mana berdua.

Aku pun menutup buku bacaanku dan menutupinya dengan tas selempang yang kutaruh di atas meja. Malu karena ketahuan membaca buku tebal, karena mungkin anak seumuranku lebih suka membaca novel remaja dan novel digital.

“Gak usah ngegodain anak orang kali...” ujar Rafi masih dengan mata terpaku pada ponsel. “Mau ngapain kesini?”

“Galak amat sih.. Mau pinjem powerbank,”

“Ambil sendiri di tas,” jawab Rafi sambil menyerahkan ranselnya pada Revan. Revan pun merogohi tas Rafi.

“Anjirr… isi tas lo apaan nih? Bunga?” seru Revan sambil mengeluarkan bunga dari dalam ransel Rafi. Rafi pun berpaling dari ponselnya kemudian ikut menengok ke arah bunga yang dipegang Revan. Ia pun kemudian merebut tasnya kembali dan menumpahkan isinya ke meja. Keluarlah puluhan bunga, cokelat, dan surat cinta. Dari balik jendela dan pintu banyak siswi berteriak menjerit tak keruan. Rafi pun tersenyum kepada mereka, sehingga jeritan itu tambah keras suaranya.

Tak lama kemudian pak satpam pun datang dan menghalau gerombolan siswi-siswi itu agar pergi ke kelasnya masing-masing. Kemudian Rafi pun merapikan surat-surat cintanya dan menaruhnya di dalam tas. Dan ia juga menaruh bunga-bunga hadiahnya di vas meja guru. Kemudian ia berjalan ke arah bangkuku. Aku pun berpura-pura membaca buku bacaanku lagi. Sepertinya ia menodongkan sesuatu. Tapi apa aku tak tahu.

“Asma, mau cokelat?” ujarnya yang masih berdiri di depanku. Ia menyodorkan sebatang cokelat.

“Terima kasih, ndak usah,” tolakku sopan karena aku sedang berpuasa, walaupun tidak puasa juga aku kan tidak mau jika diberi barang oleh laki-laki bukan muhrim. Aneh saja.

Setelah penolakanku Rafi pun pergi dan menawari semua teman sekelas cokelat. Kalau dipikir-pikir, Rafi itu ramah ya… Jarang sekali ada seorang yang popular di sekolah namun ramah kepada pengagumnya. Dan kalau dipikir-pikir lagi, sejak kapan aku memperhatikan dan memuji seorang laki-laki.

AsmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang