Semua terjadi. Bahkan ketika pria berwajah tampan itu masih diselimuti oleh duka yang kentara. Namun apa boleh buat, semua yang ia lakukan hanya demi anaknya. Seorang bayi merah yang masih menangis ketika buang air dan merasa lapar atau haus. Tetapi satu cahaya penolong tiba-tiba masuk menelusup ke dalam kehidupannya yang seketika itu juga menjadi kelabu. Sebelum semuanya terjadi, pria bernama Farhan itu menanyakan satu hal yang paling inti pada perempuan yang berdiri di hadapannya, dengan wajah cantik yang terbingkai oleh jilbabnya.
"Mengapa kau ingin aku meminta agar aku menikahimu? Bukankah kita tidak saling mengenal, bahkan tidak ada perasaan cinta satu sama lain?"
Perempuan muda itu tersenyum menenangkan. Hanya sebuah senyum tipis yang begitu tak kasat mata. "Tapi bagaimanapun juga, aku mengenal Allah-ku. Rabb-ku. Dan ketika Allah dan hatiku mendiskusikan keputusan ini, mungkin saja ini akan menjadi keputusan yang terbaik bagi kita berdua." Ishqi berkata dengan mantap sambil mengulas senyum tipisnya. Nyaris tak kentara. Senyum kedua yang tak kasat mata tetapi masih bisa dilihat oleh Farhan. Lelaki itu tertegun sesaat namun sepersekian detik kemudian berubah menjadi datar kembali.
"Aku menikah karena Allah, bukan karena cinta. Cintai dulu penciptanya, barulah makhluk-Nya. Kemudian kamu akan menemukan arti sebenarnya dari bersyukur." Ishqi membuka pembicaraan lagi, kemudian gadis itu berpamitan pergi sambil membereskan beberapa alat yang biasa ia bawa. Sementara tidak jauh dari tempatnya berdiri, Farhan menatap wajah wanita tercintanya yang sudah pucat pasi. Sudah dihilangkan baginya sebuah kehidupan fana di alam dunia. Hatinya menangis, terluka oleh semua kehendak yang terus menerus ia salahkan dan ia jadikan sasaran pertama atas semua hal yang terjadi. Takdir adalah salah satu pelaku pertama yang mempertemukan istrinya dengan maut.Tetapi semuanya telah Farhan lakukan. Hanya untuk anaknya. Bukti cinta dirinya dengan seorang wanita bernama Ahlam Athiyah yang sudah pergi nun jauh ke sana. Setelah kepergian istrinya satu bulan yang lalu, dia akhirnya meminang gadis yang bahkan memaksanya untuk melakukan perkenalan selama satu bulan. Memang gila. Dan di sinilah dia berada, di tengah-tengah resepsi pernikahan yang jauh dari kata mewah, karena keduanya sepakat hanya mengundang orang-orang terdekat. Dia berdiri sambil menyalami setiap tamu undangan yang datang mengucapkan doa serta selamat, tetapi jiwa dan raganya sedang melayang, menari-nari jauh dalam batok kepalanya. Semuanya terasa seperti mimpi.
"Farhan," Suara seseorang yang memecahkan lamunan lelaki itu dengan suara khasnya yang lembut, suara ideal khas seorang Ibu.
"Mama.." Gumam pria itu sambil menatap Mamanya heran. Sedangkan wanita paruh baya itu menatap anak laki-lakinya dengan tatapan mengasihani. Ada banyak luka serta duka di dalam iris mata coklat anak laki-lakinya. Rasanya Mariam --Ibu Farhan-- ingin memeluk anaknya yang ternyata sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang sudah menduda satu kali itu. Tetapi perempuan yang berdiri di samping Farhan membuat Mariam tersenyum. Perempuan itu menatap Ibu dan anak itu dengan penuh kasih.
"Ishqi, kemari, Nak." Ucap Mariam sambil tersenyum kepada Ishqi yang mulanya berdiri di samping Farhan.
"Ada apa, Ma?" Tanya Ishqi dengan tenang. Tetapi kemudian beberapa detik kemudian gadis itu tersentak saat Mariam memeluknya dengan erat, nyaris tak berjarak.
"Jaga Farhan dan cucu Mama dengan baik ya, Sayang? Hanya mereka yang bisa buat Mama bertahan hingga sekarang." Bisiknya lirih. Ishqi tercenung mendengar kata-kata Ibu mertuanya. Ia sadar, tanggung jawab yang besar tengah bersampir di bahunya. Melayani suami serta anaknya.
"Tanpa Mama meminta, Ishqi pasti berusaha untuk melakukannya. Mama tenang saja, insyaAllah Ishqi masih bisa menjalankan amanat ini. Hanya tinggal Farhan dan cucu Mama yang melengkapi setiap usaha Ishqi."
Mariam tersenyum. "Terima kasih Sayang."***
Usai resepsi pernikahan yang diselenggarakan sesederhana mungkin, pasangan suami istri itu saling terdiam di satu ruang yang tiba-tiba terasa menyesakkan. Kamar. Atau lebih jelasnya, kamar pegantin.
"Kau tidak ingin membersihkan badanmu?" Tanya Farhan dengan suara dingin yang mencekam, ciri khasnya yang Ishqi kenali dari awal.
"Kau saja duluan. Aku ingin mengambil Sidqi di kamarnya." Jawab Ishqi. Alibinya sungguh buruk. Tetapi perempuan itu tetap saja berjalan menuju pintu penghubung kamar mereka dengan kamar Sidqi --anak Farhan-- yang sedang terlelap sejak Ishqi memberikannya susu formula. Tetapi di luar dugaan, lelaki itu justru mengikuti Ishqi dari belakang. Ikut melangkah menemui putranya yang meski masih begitu bayi, sudah terpancar aura ketampanannya.
"Mengapa kau... tidak mandi? Aku akan lama di kamar ini."
"Hanya ingin melihat anakku." Jawab Farhan.
"Baiklah, kalau begitu aku saja yang mandi terlebih dulu." Jawab Ishqi. Bangkit dari tempat duduk yang bersisian dengan ranjang Sidqi. Tetapi, Farhan juga ikut bangkit. Ishqi menghela napas panjang, meredam rasa jengkelnya. "Sebenarnya ada apa?"
"Aku hanya ingin memberi peringatan untukmu."
"Peringatan? Peringatan apa?"
"Peringatan bahwa kau tidak boleh mencintaiku." Ujar Farhan secara gamblang. Meski terkesab percaya diri, tetapi kalimat Farhan berhasil membuat Ishqi bergidik ngeri, begitu buruk kemampuan Farhan untuk berbasa-basi. Tetapi di lain sisi, justru Ishqi merasa sedikit senang karena dirinya sendiri begitu benci dengan basa-basi.
"Siapa kau berani melarangku untuk mencintaimu?"
"Aku sebagai Tuhan di dalam rumah ini."
Ishqi terperangah, tangannya refleks menutup mulutnya yang ternganga. Sementara ekor matanya melebar. "Astagfirullah, Farhan. Istighfar!!!" Serunya dengan tatapan nyalang dan berapi. Seolah siap membakar tubuh Farhan yang menjulang tinggi di hadapannya. Jauh dalam lubuk hatinya, Farhan ber-istighfar. Wajahnya kini sudah tak mengeras lagi. Farhan sudah terlihat jauh lebih tenang. Ishqi terdiam sambil terus menatap langsung iris mata coklat yang juga menatapnya lekat-lekat.
"Maafkan aku," Lirih. Terdengar sebuah kata yang melesat melalui mulut Farhan. Ishqi menundukan kepala sambil menghela napas pelan. Alhamdulillah.
"Tidak denganku, Farhan. Tetapi dengan Allah kita. Kau hampir saja menganggap dirimu Rabb selain Allah."
"Kau mengguruiku?"
"Astagfirullah, tidak Farhan. Aku tidak berniat seperti itu."
"Maka jangan bicara, Ishqi. Aku pusing mendengarnya."