Prolog

649 27 4
                                    

Aku mencintai anak itu bahkan ketika ia baru saja melihat sinar oranye matahari pagi tepat di saat ia dilahirkan. Bulu matanya yang mengerjap lembut seperti kepakkan sayap ngengat begitu lucu menggemaskan, tetapi sepersekian detik kemudian, ketika aku mengamati bola mata sebulat kelereng itu, tiba-tiba setitik air mata jatuh mengenai pipinya yang ranum dan merah. Bayi itu menangis, tanpa suara. Kemudian kudengar napasnya mulai teratur, dia tertidur. Terdengar suara alat monitor detak jantung yang mengiringi setiap hentakkan waktu yang mulai menegangkan. Tidak jauh aku berdiri, sosok cantik bak bidadari itu sudah terkulai lemah tanpa hembusan napas yang ia keluarkan dari paru-parunya. Allah... aku melenguh dalam hati. Sebuah kesedihan dari seorang anak yang baru dilahirkan ketika mengetahui Ibunya sudah tak berada di sisinya, pergi nun jauh di sana. Sebuah tempat yang indah, yang bahkan ia tahu, tempatnya tak mungkin bisa ia jangkau. Tak tersentuh, jauh, klise. Abu-abu..

Aku memanggil segerombolan suster yang sudah bersiap siaga, mengusahakan sebuah peluang kehidupan yang ternyata sudah tertutup bagi seorang wanita yang sekarang sudah memucat wajahnya. Meski begitu, aura kecantikan yang begitu mendominasi wajahnya tak hilang sedikitpun. Bahkan tidak terlintas rasa takut atau ngeri ketika aku sadar bahwa tubuh yang terkulai lemah di ranjang rumah sakit itu telah menjadi mayat.

Tim medis itu segera melepaskan alat bantu yang menjadi alat penyokong kehidupan bagi wanita cantik itu yang aku ketahui namanya Ahlam Athiyah. Nama yang sederhana namun terdengar menenangkan. Ketika wajahnya tertutupi kain putih khas rumah sakit, kuucapkan dalam hati.. Innalillahi. Semoga wanita itu diterima amal baiknya, serta terhapuskan segala amal buruknya.

Tidak jauh dari tempatku berdiri, seorang pria berusia kisaran 26 atau 28 tahun berdiri mematung di ambang pintu kamar yang tidak lagi beraroma klomoform atau antiseptik, tetapi sarat dengan aroma duka. Matanya memandang nanar pada ranjang rumah sakit, kemudian pandangannya beralih padaku. Bukan tatapan meminta penjelasan atau meminta sebuah keselamatan yang sudah tak ada gunanya lagi. Tatapan yang ia lemparkan adalah sebuah tatapan nyalang. Berapi-api, seolah siap membakar tubuhku hidup-hidup.
"Kau... pasti hanya seorang bidan yang melakukan praktek illegal, iya kan?!" Tanyanya dengan napas memburu. Tangannya yang kekar menyentuh bahuku, meregapnya dengan erat dan mengguncangnya dengan kasar. Membuatku meringis kesakitan.
"Maaf, Pak. Sudah kami usahakan semampu kami, tapi Allah berkehendak lain." Ucapku dengan dada sesak. Aku ketakutan. Bukan karena pria yang berdiri di hadapanku yang sedang dikuasai emosi itu, tetapi tentang sebuah kata-kata yang terngiang di telingaku. Bagaimana jika ternyata di hadapan Allah aku memang salah? Astaghfirullah, tidakah aku baru saja suudzon? Naudzubillah.
"Omong kosong!" Kata-katanya tak mencerminkan orang yang beriman. Mengapa ia begitu tak bisa membicarakannya dengan kepala dingin? Mengapa harus memberontak ketika istrinya meninggal? Bukankah sesuatu yang bernyawa sejatinya akan mengalami kematian dengan caranya masing-masing. Ingin rasanya aku mengatakan hal yang sama dengan otakku.
"Astaghfirullah." Kudengar dia mengucap istighfar, mulanya, aku menundukan kepalaku, menatap lantai porselen rumah sakit yang berwarna putih bersih. Tetapi kini aku mendongakan wajahku, kulihat kini matanya berkaca-kaca, cuping hidungnya juga memerah.
"Maafkan saya, bidan. Hanya saja, bagaimana nasib anakku tanpa adanya sosok Ibunya?"
Aku terenyuh mendengar kata-katanya. Anak itu... seorang anak laki-laki yang bahkan menangis ketika sebagian besar poros kehidupannya pergi. Seorang anak laki-laki yang bahkan belum mengenal kata Mama atau Papa. Aku harus melakukan apa guna membantu pria dan anak laki-lakinya itu?
"Anda tidak usah khawatir, Tuan. Aku akan menjadi seorang Ibu dan... istri untukmu, ketika kau memang sendiri yang memintanya." Kata-kata itu... melesat begitu saja. Terdengar begitu cepat. Bahkan lebih cepat dari lari seekor cheetah.

Dan di sinilah, sesuatu yang bengkok menjadi diluruskan. Semua terasa benar, namun di sisi lain mengatakan salah. Bukankah di dunia ini selalu ada perbedaan? Maka lihat saja, suatu perbedaan yang aku satukan menjadi kolaborasi yang akur dan selaras. Bismillah, semoga Allah me-ridhoiku. Aamiin.

Ishqi LatifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang