Flashback on
Athaya tidak bisa menahan tawa gelinya ketika ternyata bulan madu yang ada dalam batok kepalanya bertolak belakang dengan bulan madu yang ada di kepala tampan milik Farhan yang kini sedang duduk berhadapan di sofa ruang tamu rumah orang tua Ishqi. Pria yang duduk di hadapan Athaya kini hanya bisa mendengus sambil menyesap teh madu hangat. Ternyata Ishqi dan Uminya memang punya keahlian yang baik dalam melayani tamu dan anggota keluarga. Farhan bingung, dia harus bersyukur atau bagaimana? Tapi jauh dalam lubuk hatinya dia mengucap 'alhamdulillah' dengan takzim.
"Baiklah, Athaya, bisakah kamu berhenti menertawaiku?" Tanya Farhan diselingi dengan dengusan kentara yang membuat wajah Athaya memerah karena menahan tawa. Andai si Tuan Pemarah di hadapan Athaya itu tidak tersinggung, Athaya ingin sekali meledak dalam tawanya. Kalau kalian bertanya tentang pria muda berhati kaku maka jawabannya adalah Farhan. Farhan. Dan terakhir Farhan.
"Kamu berniat mengajak Adikku makan malam di cloud kafe, Farhan? Dan kamu menganggap itu bulan madu yang cukup bagi perempuan yang sudah melambung tinggi karena pasangannya sudah berencana berbulan madu yang dalam pikirannya menghabiskan waktu berdua dalam beberapa hari di sebuah pulau yang indah?" tanya Athaya dengan suara yang terdengar lebih serius, tidak ada sorot jenaka di matanya. Farhan sesekali harus menerima ketegasan Athaya yang patut diacungi jempol.
"Aku tidak bisa meninggalkan Sidqi, Athaya."
"Kamu bisa menitipkannya pada Afra yang dengan tangan terbuka memberi tawaran." Athaya mengerutkan dahinya, matanya bersorot tajam sambil menyesap teh madu yang ditempatkan di cangkir antik milik Uminya. Otaknya berputar mengingat wajah cantik terbingkai jilbab yang selalu terlihat ramah ketika menyambut anak-anak.
"Sudah kukatakan, aku tidak bisa meninggalkan Sidqi. Dia masih terlalu kecil jika terlalu jauh dariku dan Ishqi."
"Kamu ini...., setidaknya kalau tidak bisa mempercayai Sidqi pada Afra, kamu bisa menitipkannya pada Umi. Umi belakangan ini jarang mengurus toko kuenya."
Farhan menghela napas. Sungguh, bekerja beberapa jam di kantor saja, pikirannya selalu teringat oleh wajah lucu Sidqi yang selalu tertawa riang ketika berada dalam pelukan Ishqi. Dan tersenyum dengan mata berbinar sehabis menangis ketika Farhan membacakan surat pendek, usaha paling sederhana yang bisa Farhan lakukan untuk Sidqi; anak kesayangannya.
"Aku tidak bisa. Aku bisa mati merindukan Sidqi."
"Oh, kamu terlihat aneh, Farhan. Padahal banyak orang terpercaya bertaburan di keluarga kita." Athaya tidak bisa menyembunyikan nada sinisme dalam suaranya, bola matanya berputar dengan sarkastik. Tuan Pemarah, dan satu julukan baru, Tuan Berkepala Batu.
"Dan... cloud kafe itu jaraknya sangat dekat dengan perumahan rumahmu," ujar Athaya, alis mata tebalnya naik sebelah dengan heran. Rasanya Athaya ingin sekali merasuki pikiran Farhan dan menguasai pikiran pria itu agar sekali saja menyenangkan Ishqi; Adiknya. Siapa yang senang jika Adik kesayangannya diperlakukan seperti manekin cantik namun mati yang hanya dilakukan sebagai pajangan? TIDAK ADA!
Ketika Athaya yang dengan sorot tajamnya yang seolah menguliti Farhan dan Farhan yang menatap langit-langit kediaman orang tua Ishqi, perempuan yang menjadi pembahasan utama mereka sedari tadi muncul dengan senyum cantiknya.
"Hai dua pria yang baik hati, makan malam sudah siap! Ayo Bang Atha, dan.... Farhan." ucap Ishqi, matanya berbinar-binar. Memang baru kali ini Ishqi mengadakan acara makan malam dengan keluarga besarnya, dan sekarang lebih lengkap karena ada Athaya yang beberapa tahun berada di luar negeri.
Athaya yang sedari tadi memasang ekspresi kaku tersenyum ketika melihat Adik cantiknya, mengajak Farhan kemudian berjalan menuju meja makan.