Ishqi terbangun agak siang pada Minggu pagi itu, membuat dia merasa bersalah karena segala sesuatu yang harus dibenahi sudah ditangani oleh Farhan. Ditambah lagi, Farhan yang sudah sarapan duluan membawakan sup jagung manis yang memang kebetulan kesukaan Ishqi sejak dulu ke kamar, dan lagi-lagi, pria itu yang membuat olahan lezat itu sendiri. Ishqi tidak pernah menyangka seorang workaholic seperti Farhan begitu lihai sekali menggerakkan tangannya mengiris dan meracik bumbu. Ishqi sampai kalah. Ishqi hanya bisa memasak sayur-sayuran sederhana dan nasi goreng, dan ketika membuat nasi goreng pun, Ishqi menggunakan bumbu praktis, beda dengan Farhan. Perempuan itu lebih suka membuat kue, kalau bicara tentang kue, Ishqi lah jagonya! Lebih menantang dan bisa menghasilkan hal-hal baru, katanya, ck.
“Ishqi?”
Ishqi merasa namanya dipanggil, segera saja ia tergopoh-gopoh lari dalam lamunannya dan menatap Farhan yang kini menatapnya bingung.
“Aku bertanya padamu tadi, dan kamu hanya diam saja. Sebenarnya ada apa? Kau banyak melamun belakangan ini.”
Oh, well, Farhan suamiku yang pintar memasak, sejak kapan kamu peduli padaku?“Tidak ada apa-apa, hanya sedikit pusing jadinya aku lebih asyik melamun.” Ucap Ishqi panjang lebar, tapi perempuan itu merutuk dalam hati ketika ia pikir jawabannya barusan benar-benar melenceng dari pertanyaan Farhan.
Kenapa tidak kamu jawab saja kalau kamu sedang menghitung biji-biji jagung dalam sup, Ishqi?! Dewi batin Ishqi memarahinya, membuat Ishqi meringis dan mulai menyendokkan lagi kuah sup yang terasa hangat di tenggorokan.
Baiklah, gunakan akal sehatmu, Ishqi Imanisa Latifah, batin Ishqi sembari menghela napasnya.
“Kalau begitu, habiskan saja dulu supnya, aku akan melihat Sidqi yang sedari tadi menangis karena Uminya belum bangun-bangun juga.” Ucap Farhan, bangkit dari duduknya di atas kasur di sisi kanan Ishqi yang menyandarkan kepalanya di kepala ranjang.
“Uh, maafkan aku, Farhan. Semalam aku tidur larut sekali,” Ucap Ishqi sambil menggaruk kepalanya yang tertutup jilbab instant yang Farhan yakini sama sekali tak gatal.
“Tidak apa-apa,” Jawab pria itu, tersenyum teduh kemudian meninggalkan Ishqi yang terperangah. Hei, maklum kan kalau Ishqi terperangah?! Farhan tersenyum padanya, dan itu yang pertama kali! Harusnya Ishqi menyelipkan kamera CCTV di kamarnya, agar senyum tampan itu bisa terekam dengan jelas. Uh-oh, Ishqi, istighfar, tidak baik terlalu memuji seseorang dengan berlebihan, dewi batin Ishqi memperingatkan, dengan tak kasat mata perempuan itu bergumam ‘astagfirullah’, kemudian meneruskan acara sarapannya yang tertunda-tunda karena pergulatan hati serta pikirannya, fyuh...
Ishqi sudah selesai mencuci piring bekas makannya, kemudian mandi dan membenahi ranjang yang sedikit terlihat berantakkan. Setelahnya, perempuan itu masuk ke dalam kamar Sidqi yang memiliki pintu penghubung dengan kamarnya dan Farhan.
Di dalam kamar itu, Farhan sedang menggendong Sidqi yang rewel sambil menarik-narik kaus tipis berlengan panjang dengan warna abu-abu tua di bagian leher baju Farhan. Terlihat sekali ada ekspresi kewalahan dan kesenangan tersendiri di wajah itu. Sesuatu dalam dada Ishqi menghangat, ia baru melihat Farhan setenang itu, biasanya pria itu selalu saja terlihat serius dan tak tercela. Dia itu sosok pria dewasa perfeksionis dengan aroma tubuh maskulin dan style-nya yang patut diacungi jempol, ya meski warna baju yang pria itu miliki tidak bervariasi. Abu-abu, hitam, dan putih. Kelam sekali kesannya. Warna abu-abu bagi Ishqi memberi kesan mendominasi dan mengintimidasi, warna hitam yang terlalu manly, dan putih yang memberi kesan keheningan dan kesunyian yang tenang dan bersih dari segala obrolan yang tidak seharusnya. Secara gamblang, itu menurut Ishqi. Dan menurut Ishqi warna putih dalam diri Farhan itu kesunyian yang terlalu menjorok pada kebisuan dalam sewaktu-waktu jika pria itu mau. Ah, entahlah, rasanya pribadi Farhan memang begitu sulit untuk Ishqi selami. Terlalu tak terjangkau dan membuat Ishqi penasaran.