Disaster

56 2 0
                                    

Tangan Nami penuh akibat memborong banyak jajanan di kantin. Tangan kanannya memegang segelas Cappucino, sementara tangannya yang satu lagi membawa sekantong makanan ringan ukuran jumbo. Dengan wajah yang dingin seperti biasa, dia melintasi teman-teman sekelasnya yang sedang melakukan hal kesukaannya masing-masing.
Dia duduk di kursi belakang, karena memang dia menyukainya, dan karena dia dijauhi oleh yang lain. Sambil menghabiskan makanannya, Nami mengaduk-ngaduk isi perut tasnya. Dirogohnya buku tentang Karya Seni Zaman Klasik. Karya Beethoven, Chopin, Pachelbell, Da Vinci mewarnai seluruh isi buku tersebut. Mata Nami berbinar-binar memandangi buku itu. Tapi suasana berubah saat...

"Hiiihhh.. gak nyangka loh, pembunuh kayak lo ternyata bisa suka seni juga, ya..", setelah menatap Nami dengan sinis, kedua bibir dita yang kelihatannya manis itu otomatis bicara senada dengan tatapannya. Kata-katanya bikin seisi kelas memperhatikan Nami dengan tatapan merendahkan.

"Woi, lu itu pembunuh, pembunuh gak pantes baca buku seni..", itu suara Chiko, kaki tangannya Dita, sekaligus wakil ketua kelas.

"Iya, mending lo senang-senang sama kita", Arian dengan sigap duduk di sebelah Nami dan memegang dagu Nami dengan tatapn ancaman. Dita tersenyum puas saat itu, dengan sedikit anggukan, dia mengkode Arian untuk melanjutkan 'permainan' mereka terhadap Nami. Gak ada yang mau membantu Nami. Seisi kelas cuma bisa senyum-senyum melihat keadaan Nami.

Bram dan Devan, yang merupakan kaki tangan Arian mendekati Nami. Bram mengelus-elus tangan kanan Nami lalu menggenggamnya dengan erat, sementara Devan menggenggam tangan kirinya dengan genggaman yang gak kalah erat. Keringat Nami bercucuran saat dia mencoba melawan, tapi gak bisa karena genggaman itu terlalu kuat mencengkeramnya.

"SIALAN!. Lepasin tangan gue. Pergi kalian, SINTING!", Nami spontan mengeluarkan kata-kata kasar dari bibirnya itu. Cengkeraman si tangannya malah semakin kuat. Arian malah menjadi dekat.. Dan semakin dekat...

Plak!, Arian membanting tangannya ke meja. Dia mengurungkan niatnya buat mencium Nami. "Cewek sinting, mana ada cowok yang mau sama cewek pembunuh kayak elo!", Arian berbisik di telinga Nami sambil menampakkan taringnya.

Dia mengangkat badan Nami yang dari tadi terduduk, lalu mendorongnya ke tembok. Tangannya mulai betah di kepala Nami. Ujung rambut Nami gak luput dari sentuhannya, dan dijambaknya rambut Nami dengan keras, hingga kepala Nami miring ke kanan setelah itu.

"Cewek pembunuh kayak elo pantesnya diberi hukuman setimpal, tahu!", Chiko menarik baju Nami hingga lecak. Nami menantang dengan tatapannya.

Chiko menarik baju seragam Nami,dan mengangkat badan Nami yang gak mampu lagi untuk melawan. Lehernya dicekik oleh Bram, sehingga gak mampu buat berkata-kata. Rambutnya yang panjang juga dijambak oleh Devan. Nami dibenturkan di dinding sudut kelas dengan kencang.

Nami tambah panik ketika genggaman Bram dilehernya makin kuat. Dan mendekatkan wajahnya ke wajah Nami yang makin memucat. Sementara yang lain hanya kegirangan memandangnya.

Namun, gak ada yang peduli...

Tak ada seorangpun yang beniat menolong Nami..

Tak ada yang mau mengulurkan tangannya untuk membantu Nami...

Tak ada gunanya Nami meringis seperti itu...

"Sekarang- waktunya- kami -melakukan- bagian- terpenting", Bram berbisik di telinga Nami perlahan. Nami menggeliat meringis ingin melepaskan diri. Namun mereka merangkulnya dengan erat. Yang lain tetap tidak ada yang berniat menolong. Mereka tertawa-tawa lantang seolah sedang menonton adegan lucu dari komedi. Setelah puas, mereka melepaskan tangannya dari Nami.
Mereka lalu memukul badan Nami yang tanpa dosa hingga babak belur. Tawa anak-anak lain tambah memuncak,  mereka membantu keempat cowok itu, memukuli Nami.  Melihat badan Nami yang sudah legam, mereka mengacak-acak rambut Nami dengan tawa. Membiarkan Nami terkapar, disudut kelas. Tangisan Nami menyeruak. Air matanya mengucur deras dan tetap gak ada yang peduli.

Arian lalu menghampirinya sambil berjongkok, "Lu harus mati seperti orang itu, Pem-"

"Eh, eh, Bu diah dateng, Bu Diah dateng!", sebelum Chiko melanjutkan kata-katanya, terliht seorang siswa yang lari ketakutan di depan pintu. Dengan gaya yang seperti kesetanan, dia mengkode teman-temannya untuk kembali ke peraduannya masing-masing.
Gradakgrudukgrudukgradak, buk!, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing dengan  gaya aneh, salah satu dari mereka ada yang terjatuh tersandung tas Dita. Dan dialah Arian. Mereka cekikikan melihat Arian, sementara Nami berusaha keras untuk bagun dengan badan legam. Tak ada yang dipikirnya saat ini, dia hanya ingin bangkit dan mengatasi semuanya dengan baik.

Hi, pembaca, makasih udah baca ceritaku! :D. Alham dulillah, art 4 jadi juga. Sorry for the late update! :D.  Oh iya, sekedar info, part 4 ini udah merupakan konflik cerita, makanya ceritanya agak panjang.. Hahahaha.. :D. Tunggu terus lanjutannya, ya. Jangan lupa vote dan vomment-nya, ya! ^^

Thank You! ^^~

Next Part: Against Them

Wreackonfix [VERY SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now