Satu setengah tahun yang lalu..
Laura membuka matanya dengan berat hati, sinar hangat yang muncul dari sela gorden putih dari jendela mengganggu tidur nyenyaknya. Ia mengulet untuk merenggangkan tubuhnya beberapa kali, berharap agar setiap otot tubuhnya yang istirahat beberapa jam yang lalu mau bekerja lagi. Setelah ia bisa membuka matanya secara utuh, ia menarik selimutnya kembali dan memutuskan untuk kembali memejamkan mata.
Namun rencana Laura tetap tidak berhasil mengingat ia sudah terlanjur bangun, jika sudah membuka mata dirinya sangat susah untuk memejamkannya kembali. Akhirnya ia memutuskan untuk bangun dan segera mandi, dengan tubuh yang masih terlentang di kasur ia menggapai-gapai meja kecil di sisi tempat tidur. Setiap pagi Laura selalu mengecek handphone, dengan satu harapan semoga di layar ia menemukan satu pesan dari Andre. Pria yang baru beberapa bulan lalu resmi menjadi pacarannya.
Laura menelan kekecewaannya karena tidak ada satupun pesan dari Andre, tidak ada ucapan selamat pagi dari kekasihnya. Ia berdecak kesal karena Andre baru kali ini absen mengirimkan ucapan manis itu kepadanya. "Kemana dia?"
Selimut berwarna putih dengan garis hijau jatuh ke lantai saat ia berdiri, salah satu kebiasaannya setiap pagi juga adalah menghampiri jendela kaca besar dan membuka gordennya agar cahaya matahari bisa sepenuhnya masuk ke kamar. Di hadapan ranjang besar terdapat jendela kaca yang hampir menghabisi keseluruhan dinding di bagian barat, setiap malam ia bisa membuka pintu kaca dan memandangi bulan sambil berbaring. Di dinding bagian utara terdapat rak buku sedang dengan koleksi buku dan CD kesukaannya, dan di bagian timur terdapat lemari pakaian dan dua pintu besar berwarna cokelat. Pintu kamar mandi dan pintu keluar kamar.
Laura memastikan sekali lagi penampilannya di cermin, setelah mandi dan bersiap-siap ia akan berangkat kuliah. Saat ini ia baru menjalani dua semester di jurusan Desain Komunikasi Visual di salah satu Universitas Negeri di Bandung. Semangat dirinya bertambah saat Andre tiga bulan yang lalu menembaknya, laki-laki yang sudah ia sukai semenjak mereka sama-sama menjalain OSPEK. Sejak menjadi pacar Andre, Laura memutuskan untuk menjadi gadis yang sepadan bagi Andre. Keputusan itu tidak lain untuk memadamkan kekhawatiran dirinya akan gadis-gadis yang selalu mengincar kekasihnya itu di kampus. Dan tentu saja ia tidak suka.
Dengan langkah riang Laura membuka pintu kamar untuk menuju ruang makan di lantai satu, namun saat ia baru memegang pegangan tangga terdengar suara yang membuat langkahnya terhenti. Suara kedua orang tuanya yang sepertinya sedang, ya well sedang bertengkar.
"Kemana saja kamu semalam, huh? Apa sekarang jam kerja di kantor selesai jam 2 pagi?!" Mama bertanya membentak, Laura sangat tahu bagaimana sifat ibunya itu. Ia tidak akan berbicara keras jika tidak benar-benar marah.
"Jangan menuduh aku seperti itu, tentu saja aku setiap hari bekerja!"
"aku tidak menuduhmu, aku hanya bertanya! Dari mana kau semalam?"
"Itu bukan urusanmu, aku dari mana semalam sama sekali bukan urusanmu!"
"Apa kau bilang? Kau sudah tidak menganggap aku istrimu lagi, iya? Aku berhak tahu apa yang kau lakukan, apa karena sekertaris barumu itu yang membuatmu berubah seperti ini?"
Terdengar suara gebrakan meja yang membuat Laura terlonjak kaget. "Jangan bawa-bawa orang lain, Melinda. Aku berubah seperti ini juga karena kamu, kau pikir suami mana yang tahan setiap hari dimarahin dan dituduh macam-macam?!"
"Aku memarahimu karena memang kau salah! Bagaimana aku tidak menuduhmu jika setiap malam kau pulang hampir pagi buta, kau juga tidak pernah mempedulikan anak-anak kita lagi."
YOU ARE READING
Don't Let Me Go
RomanceKesendirian ini mencekik dan hampir membunuhku Menabur garam di luka yang tak kunjung pulih Merobek paksa lubang menganga di dada Tik,tik,tik... hanya nada jarum jam berharmonisasi Tik, tik, tik... memanggil seseorang untuk kembali Tak ada...