Daniel memegang kemudi mobil dengan kedua tangan, pandangannya terus tertuju ke depan. Mobil yang ia kendarai masih diam di tempat parkir rumah sakit, sesekali pandangannya tertuju ke Laura yang sedang duduk diam manis di kursi penumpang. Laura masih belum mengatakan kemana ia pulang, dan selama itu juga Daniel dengan sabar menunggu. "Saat kau mengatakan tidak tahu kemana harus pulang, kau serius?"
"Menurutmu?"
Daniel menelan ludah dengan susah payah, dadanya kini berubah sesak dan tenggorokannya tercekat. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu?
"Aku yakin kau yang lebih tahu jawabannya." ujar Laura setelah tersenyum sedikit.
Tiba-tiba pandangan Laura tertuju ke Daniel, mengamati keseluruhan penampilan pria di sisinya dengan wajah serius. "Kau masih kuliah?"
"Ya aku masih kuliah, kau mau tahu juga jurusanku?"
Laura menggeleng. "Lalu mengapa kau tidak kuliah? Setahuku hari ini bukan hari libur, dan kau malah lebih memilih berada di sini."
"Aku sedang menjalani S2 saat ini, jadi tidak seketat mahasiswa S1."
Laura terlihat sedang mengenang sesuatu. "Oh S2, tapi kau terlihat cukup muda. Lalu kau mengisi waktu luangmu dengan mengurusi orang sakit?"
Daniel kembali memandang lurus ke depan. "Tentu saja tidak." jawab Daniel dengan nada sedikit tersinggung
Laura tertawa menyadari beberapa hal yang mengganggunya, dan jawaban Daniel sama sekali tidak membantu. "Yah, jika dilihat dari penampilanmu. Kau memang seperti orang sibuk, jadi antarkan aku ke rumah temanku saja."
Daniel menyalakan mesin mobil. "Di mana alamat rumah temanmu itu?" tanyanya tanpa menoleh. Mobil mulai berjalan perlahan meninggalkan parkiran.
"Jalan saja, aku akan memberitahumu nanti."
Setelah menempuh 30 menit di perjalanan menuju rumah Sinta, kini mereka berdua sudah tiba di depan rumah minimalis namun bergaya modern bercat putih. Daniel menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di bawah pohon beringin. Tempat yang cocok mengingat Laura tidak melakukan apa-apa meskipun mereka sudah tiba di sana sekitar sepuluh menit yang lalu. Dengan sabar Daniel menunggu Laura, ikut diam di sisi gadis itu tanpa bertanya macam-macam.
"Apakah menurutmu balas dendam pantas dilakukan seseorang?"
"Mengapa bertanya seperti itu?"
Laura menoleh sebelum menjawab, menyelami bola mata indah Daniel. Dari jauh mata itu mungkin berwarna coklat muda, namun jika diperhatikan terdapat warna biru di matanya. "Matamu indah.."ujar Laura tanpa berpikir lagi.
Laura tidak tahu apakah Daniel terkejut atau tidak, karena wajahnya tetap tenang dan datar. "Benarkah?"
Mereka berdua masih berpandangan, karena Daniel tidak mengalihkan pandangannya membuat Laura mengangkat tangan kanan dan mengelus pipi kanan Daniel tepat di bawah matanya. "Yah, aku bahkan tidak tahu cokelat muda dan biru akan menghasilkan warna seindah ini."
Daniel tersenyum tipis, nyaris tidak kentara. "Kau gadis pertama yang mengatakan mataku indah."
Laura menurunkan kembali tangan kanannya dengan terpaksa. "Maaf, aku hanya terbawa suasana." Laura melepaskan kontak mata dengan Daniel dan menjulurkan leher lebih panjang untuk melihat jelas bagaimana keadaan rumah Sinta, memastikan apakah ada orang yang terlihat di depan rumah atau tidak.
"Aku tidak tahu apakah dia ada di rumah."
"Kenapa kau tidak turun saja?"
Laura berbalik menghadap Daniel dengan tersinggung. "Kau memang mau mengusirku, kan? Sudah ku duga. Yasudah aku pergi, dan.."
YOU ARE READING
Don't Let Me Go
RomanceKesendirian ini mencekik dan hampir membunuhku Menabur garam di luka yang tak kunjung pulih Merobek paksa lubang menganga di dada Tik,tik,tik... hanya nada jarum jam berharmonisasi Tik, tik, tik... memanggil seseorang untuk kembali Tak ada...