Bab 2

65 3 0
                                    


Daniel membuka kaca mata hitam yang sejak turun dari pesawat tadi ia kenakan, tangan kanan yang membuka kaca mata hitam masih menggenggam benda itu. Pandangan mata Daniel menyapu ke sekitar lobi bandara, orang-orang berlalu lalang dengan ramai. Entah mereka ingin berangkat atau beru saja tiba seperti dirinya. Daniel tahu tidak akan ada yang menjemputnya hari ini, tapi ia tetap ingin memandang pemandangan ini yang sudah lama dirindukannya. Sudah 4 tahun dirinya meninggalkan Indonesia, negeri kelahirannya.

Daniel tersenyum tipis saat ada seorang gadis yang terus memperhatikan dirinya di dekat tiang di sisi kanan lobi. Membuat pipi gadis itu merona setelah Daniel mengangguk dengan sopan. Taksi pertama yang ia lihat langsung menjadi pilihan utamanya, yang ia inginkan hanya pergi dari sini dan menuju ke suatu tempat.

Supir pria paruh baya menoleh dengan senyum sopan, bertanya ke mana tujuan Daniel.

"Ke RS Sistine ya, Pak." Jawab Daniel ramah.

Supir di hadapannya menangguk mengiyakan dan segera melaju ke tempat tujuan yang Daniel sebutkan tanpa bertanya lagi.

Kini Daniel sudah berada di depan bangunan dengan nama RS Sistine yang berdiri megah, orang-orang keluar masuk dari pintu depan tanpa henti. Setiap hari memang selalu saja ada yang sakit dan juga ada yang sembuh dari penyakitnya. Selain Mall, Rumah Sakit menjadi tempat kedua yang ramai dikunjungi masyarakat. Dengan langkah mantap Daniel melangkahkan kaki masuk ke dalam, ia seharusnya menghampiri meja panjang resepsionis untuk menanyakan kamar berapa pasien yang ia ingin kunjungi. Namun ia terus melangkah menuju Lift yang kebetulan sedang kosong. Ia menutup pintu Lift dan segera memencet tombol yang membawanya ke lantai 4.

Lift berdenting saat sudah tiba di lantai 4, Daniel keluar setelah pintu Lift terbuka lebar. Seseorang suster setelah melirik kepadanya masuk menggantikan Daniel ke dalam Lift. Daniel mengedarkan pandangan ke sekitar Rumah Sakit dengan langkah ringan, meski pandangannya ke arah lain tapi dirinya tahu kamar nomor berapa yang baru saja ia lalui. Langkahnya terhenti begitu ia tiba dikamar No 402.

Tidak ia temui siapapun di kamar itu selain seorang gadis yang sedang terbaring lemah, dengan berbagai selang menghiasi tubuh sang gadis. Kedua matanya terpejam rapat, seolah ia sedang tidur nyenyak. Kedua tangan tergeletak di sisi kanan dan kiri tubuhnya, selang infus menemani tangan kiri gadis itu. Meski seluruh tubuhnya sudah pasti sakit akan tetapi gadis itu terlihat damai. Gadis itu tetap terlihat menawan meski alat bantu pernafasan menutupi separuh wajahnya.

Daniel mengambil beberapa langkah mendekati ranjang gadis itu, beberapa helai rambut panjangnya menutupi kening dan sebagian matanya yang terpejam. Daniel mengambil helai rambut dan meletakkan kembali ke tempatnya semula, bukannya menarik kembali tangannya Daniel malah mengelus rambut gadis itu dengan lembut. Mengusap kening dan dilanjutkan ke sebagian kepalanya, berulang kali.

Tiba-tiba pintu kamar rawat gadis ini terbuka, terdengar suara seseorang terkesiap. "Owh, maaf. Saya kira tidak ada orang di kamar ini."

Kedatangan orang itu membuat Daniel menarik kembali tangannya, memasukkan ke saku celana sebelum memutuskan berbalik. Di hadapannya ada seorang suster kira-kira berumur tiga puluhan.

Daniel memaksakan selulas senyum. "Tidak apa-apa,"

"Karena biasanya tidak ada pengunjung di kamar ini, saya kira.."

"Benarkah tidak ada pengunjung?"

Suster di depan pintu ragu ingin menjawab, ia masuk lebih dalam ke kamar dan menutup pintu sedikit. Ia memandang wajah Daniel dengan penuh keprihatinan sebelum pandangannya kembali ke gadis di ranjang. "Kami sudah hampir hilang harapan untuk gadis malang ini." suster menghampiri gadis itu dan mengusap keningnya pelan, sama seperti yang tadi dilakukan Daniel.

Don't Let Me GoWhere stories live. Discover now