Suasana Ruangan segi empat itu begitu hening karena baru saja orang yang beberapa minggu ini menempati ruangan itu pergi.
Terlihat sosok lelaki tampan dengan seorang paruh baya di sisinya.
"Putra mahkota anda baik-baik saja?" Tanya pengurus istana.
Fazza menggelengkan kepalanya tanda dia tidak baik-baik saja. Mata tajamnya menatap kamera yang tergeletak di meja ruang tamu. Fazza mengambilnya dan menatap kamera itu nanar.
"Dia meninggalkan kameraku disini, tapi tidak menanyakan kameranya yang ada padaku," gumam Fazza.
Pengurus istana hanya menatap putra mahkotanya itu bingung. Tidak tahu cara untuk menghiburnya.
"Bahkan aku belum sempat menanyakan kemana perginya dia dua hari yang lalu. Tidak tahukah dia bahwa aku begitu mengkhawatirkannya?" Gumam Fazza lagi.
Fazza kini menghela nafas berat. Mata tajamnya meredup. Dia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan ini. Fazza sudah duduk di dalam mobil mewahnya sambil menatap kosong ke luar jendela.
"Yang mulia. Mungkin Nisa belum naik pesawat. Apa anda mau menyusulnya?" Tanya pengurus istana.
"Lalu apa yang harus aku lakukan setelah aku menyusulnya?"
"Ucapkan kata perpisahan misalnya."
"Kata itu menyakitkan untuk di ucapkan. Di saat aku tidak ingin dia pergi dari sini."
"Apa sudah sedalam itu?" Tanya pengurus istana.
"Mungkin. Karena sekarang aku tengah merutuki nasibku yang terlahir sebagai putra mahkota, dimana setiap langkahku di perhatikan oleh semua pasang mata di seluruh dunia," Pengurus istana menatap Fazza lewat kaca spion. dia melihat putra mahkotanya itu begitu murung.
"Andai saja perasaan itu berbentuk. Aku bisa menuntutnya yang pergi begitu saja. Perasaan yang dia hadirkan kepadaku bisa aku jadikan bukti. Andai seperti itu," gumam Fazza lagi.
Fazza memilih memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Apakah takdir akan mempertemukan mereka kembali? Entahlah. Fazza tidak ingin berharap terlalu banyak.
***
Di bandara Internasional Soekarno Hatta, Nisa tampak menyeret kopernya. Wajah gadis itu tampak murung. Tapi setelah melihat dari kejauhan kakaknya sudah menjemput, dia memamerkan senyum merekah.
"Kak Ihsan,"
Panggilnya sambil berlari heboh menghampiri kakaknya. Ihsan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum hangat. Nisa kini memeluk Ihsan dengan erat.
"Akhirnya mencium aroma rumah juga," ujar Nisa sambil menghirup aroma tubuh kakaknya.
Ihsan menepuk kepala adiknya sayang. Adiknya yang satu ini memang selalu membuatnya rindu tiap saat. Mungkin karena sikap Nisa yang grasak-grusuk tidak seperti dirinya dan juga Humaira. Jadi akan terkesan aneh kalau tidak ada Anisa di samping mereka.
Pelukan adik kakak itu terlepas. Ihsan menatap seksama wajah adiknya juga keadaan adiknya.
"Adikmu ini bisa menjaga diri dengan baik kok. Tenang saja Kak," ucap Nisa.
:Ya sudah ayo pulang. Umi dan Abi sudah menunggu," ujar Ihsan lalu membantu membawakan koper adiknya.
Nisa menjani hari-harinya seperti biasa. Kalau dulu Ihsan yang sendirian di bandara menunggu Anisa pulang, saat ini Ihsan di temani Nisa menunggu Humaira adik bungsu mereka. Gadis lugu itu terlihat, seraya tersenyum hangat kearah mereka. Langkahnya tergesa menghampiri kedua kakaknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/63849620-288-k544950.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AnNisa The Woman Of Sidiq
Espiritual[SUDAH TERBIT] keterkaitan cerita #3 Semoga tambah baik dan kemaklumannya..Selamat membaca..^^ Hanya mengisahkan Pangeran nyata yang memiliki dunia dalam genggamannya menurut imajinasiku sendiri..