Dua

663 52 1
                                    

Waktu terus berlalu seiring dengan kembalinya aku ke Indonesia.

Tak percuma pelarianku selama 4 tahun ini atas kabar kematian Ira membuatku menjadi seorang yang terbilang cukup sukses. Aku belajar mati matian untuk menamatkan kuliahku. Aku juga berusaha membantu menghandel perusahaan papa yang kini sudah berdiri kuat tanpa ada yang bisa mengusiknya. Dan aku juga merintis perusahan kecil kecilan di bidang properti yang kini sudah memiliki 5 cabang di berbagai negara termasuk Indonesia. Dan aku akan menetap lagi di Indonesia untuk mengurus cabang perusahaan ku dikota Semarang yang sudah berdiri 1 tahun lamanya. Dikarenakan berbagai berkas kepindahan,rumah dan sebaginya jadi aku baru akan ke Semarang dua minggu lagi.

Selama 1 tahun ini aku belum pernah menampakkan diri disana, sebab Jo lah yang dengan tanggung jawabnya yang besar,dan dengan senang hati
-entah karena sesuatu- telah mengembangkannya dengan kerja kerasnya selama ini.

Sudah lima bulan aku di Jakarta, setiap hari aku menyibukkan diri di kantor. Tapi ketika saatnya aku pulang dan melewati rumah Ira, perasaan menyakitkan itu masih saja mencengkram erat ulu hatiku. Di kantor aku bisa sejenak melupakannya tapi jika dirumah aku tak pernah berhenti memikirkannya, hingga terkadang aku tak bisa tidur dengan nyenyak yang berakhir dengan sakit kepala yang sering kali ku alami.

***

Lagi, lagi dan lagi. Aku berdiri di depan rumahku dengan pandangan menuju ke arah rumah Ira yang kosong. Hingga tak sadar saat seseorang bergelayut manja di lenganku.

"Kak, kenapa nggak langsung masuk ke rumah?" ucap wanita cantik yang selama ini menemaniku di Jerman.

"Iya, setelah ini aku masuk. Kamu masuk duluan aja sana."

"Nggak mau ah, aku mau nunggu kak Gara aja." katanya manja.

Membuatku mau tak mau tersenyum sambil mengacak acak rambut panjangnya.
Senyum cerianya selalu mengingatkanku kepada Ira.

"Kak, kenapa sih setiap pulang kakak selalu melihat ke arah rumah kosong di depan?" tanyanya penasaran.

Aku terdiam sejenak. Menimang nimang apakah aku akan menceritakannya atau tidak.

"Kepo " jawabku singkat.

Tiba tiba tanganku di lepas paksa olehnya, wajahnya cemberut dan ekspresinya terlihat kesal.

Hahaha, dia selalu terlihat lucu jika sedang sebal seperti ini.

Aku tersenyum geli, lalu melingkarkan tanganku di pundaknya, memeluknya dari belakang. Kepalaku kusenderkan di bahunya dan mulai bercerita.

" rumah kosong itu, dulunya adalah rumah gadis kembar identik yang memiliki sifat yang berbeda.." mulai ku sambil menatap rumah Ira dengan mengenang masa lalu.

"Yang satu adalah gadis cantik yang begitu feminim, lembut dan penyabar. Sedangkan yang satunya lagi adalah gadis super manis yang galaknya amit amit, tapi baik hati, ceria dan cuek."

" pasti kak Gara suka sama salah satunya. Iya kan" tanyanya.

" ya, kamu benar"

"Sebentar, jika kutebak yang kak Gara suka pasti gadis yang feminim dan lembut kan? Karena itu tipe kakak"

"Memang, aku menyukai si gadis feminim. Karena dengan si gadis galak aku selalu saja bertengkar. Tapi itu hanya bertahan sampai aku bermimpi yang berhubungan dengan si gadis galak. Dan ternyata ia juga memimpikan hal yang sama. Seperti keajaiban, mungkin itu pertanda untuk menyudahi pertengkaran yang selama ini kami lakukan. Akhirnya kami berbaikan bahkan kami pun berpacaran."

"Wah, terus terus.."

"Lalu kakak harus pergi ke Jerman ,ketika papa sakit dan membutukanku untuk membantunya mengurus perusahaannya tepat di malam perpisahan kelulusan kami. Dan itu pun aku hanya meninggalkan sepucuk surat. Tanpa tau, jika malam itu aku telah membunuhnya walau bukan dengan tanganku sendiri." tak terasa air mataku menetes.

Always Love You(squel MDML)Where stories live. Discover now