Pertemuan Bahagia

49 4 0
                                    

Pagi ini saat kelopak mataku menaik dan terbuka untuk menyambut cahaya matahari,ada senyum-senyum kecil yang sejak lama sudah tertutup rapat. Tapi tidak untuk sekarang,senyum itu terlihat jelas di wajahku. Bahkan aku bisa merasakan bibirku yang terangkat jelas. Rasa bahagia ini tak lain dan tak bukan adalah karena adanya Dylan di hidupku. Iya,aku bahagia sekali bisa mengenalnya bahkan menjalin hubungan seperti ini denganya.

Hari ini sekolahku libur,untung saja Dylan berjanji akan menjemputku untuk berjalan. Iya,hari ini kami sudah mengatur dengan runtut jadual kita. Aku tidak akan mengulang kesalahanku lagi. Aku tidak akan membuang-buang waktuku dengan Dylan dengan sia-sia. Aku akan menjadikan waktuku dengan Dylan setiap detik ataupun setiap menit adalah waktu yang sangat berharga dan sulit untuk dilupakan dengan kami sendiri.

Entah kenapa bel rumahku sudah terdengar saja. Aku makin tidak bisa menahan tawa kecilku ini. Kenapa Dylan tidak bisa sabar sedikit saja? Bukankah ini masih terlalu pagi untuk jalan-jalan bersamaku? Aku saja belum merapikan penampilan diriku ini. Tapi tidak ada salahnya jika aku menemuinya dulu dan menyuruhnya untuk masuk kerumah.

Tapi ternyata tidak. Andai saja jantung ini bisa terlepas dari tempatnya. Mungkin sekarang aku sudah mati duduk diatas kursi roda karena terkejut. Iya,aku terkejut sangat. Bukan karena aku bahagia. Melainkan sesak sekali rasanya. Air mataku juga hampir saja terjatuh di wajahku. Dengan sekuat tenaga aku melawan semua ini.

"Pagi Bi." Terlihat jelas di hadapanku. Laki-laki yang selalu membuatku merasakan rasanya terbang di atas langit lalu diturunkan begitu saja di bumi. Entah,untuk apa kedatanganya pagi ini. Aku masih terpaku dan tidak bisa berbicara sedikitpun. Nino semakin hari semakin gila. Dia berani datang kerumahku lagi. Bukankah kemarin sikapnya sudah sangat keterlaluan? Lalu apa lagi ini?.

"Bi,ini ada coklat untukmu. Dan susu hangat. Pasti kamu belum sarapan?" Nino masih berusaha meyakinkanku. Tapi aku masih sama dengan sebelumnya. Mataku masih sekuat tenaga menahan air mata begitu juga dengan hatiku. Hatiku sudah berulang kali menahan amarah yang ingin meledak-ledak.

"Hm,kamu masih marah karena kemarin? Okey,aku minta maaf untuk itu. Tapi tolong jangan diam begini Bi. Aku semakin merasa bersalah dan takut lihat kamu yang diam seperti ini."

Aku semakin benci dengan Nino yang duduk dihadapanku bahkan menatapku dengan tatapanya di masa lalu. Aku sudah berusaha membangun dinding-dinding masa depanku yang dulu dia hancurkan. Aku juga ingin menemukan warna yang baru dihidupku dan tidak harus denganya. Bukankah semua itu hancur karena dia? Tapi apa semua ini? Apakah semua laki-laki seperti ini dengan wanita? Ya tuhan. Aku masih tidak percaya. Laki-laki yang dulu aku banggakan di hadapan banyak orang tak lain dia sangat memalukan sekarang.

"Kenapa sih Bi kamu kayak gini? Okey,berapa lama kamu mau diemin aku kayak gini? Kenapa kamu gak bisa maafin aku? Apa susahnya memaafkan aku? Ayo kita perbaiki lagi hubungan ini Bi. Aku mohon. Berapa lama lagi kamu berpura-pura tidak dengar?."

"Apa? Kamu kira salahmu hanya kamarin? Bangun No! Kamu sudah hancurkan semua cita-citaku. Kamu sudah hancurkan percaya diriku. Kamu sudah hancurkan kepercayaanku dengan orang lain bahkan kamu berhasil buat aku trauma untuk jatuh cinta,apakah itu masih kurang?. Tapi apa ini? Aku rasa kamu masih sama. Kamu selalu yakin kalau kamu itu benar. Lalu? Apa arti semua tangisanku saat kamu memilih untuk menyudahi hubungan kita?. Mungkin,kamu bisa dengan mudah bilang 'maafkan aku'. Tapi tidak semudah itu Nino. Aku juga ingin memaafkanmu,ingin sekali. Tapi hati kecilku tidak bisa bohong. Sakit sekali rasanya. Kamu pergi gitu aja. Seakan-akan kita emang udah gak kenal. Bahkan aku rasa kamu malu punya pacar seperti aku. Jadi aku rasa, tidak ada lagi yang harus kita perbaiki Nino. Pergilah dari hadapanku. Kalau kamu ingin aku tidak benci denganmu,cepat pergi sekarang juga."

Air mataku turun dengan deras,mataku tidak mampu menahan semua ini. Dadakupun mulai sesak,sakit sekali rasanya. Sekarang airmataku semakin deras saat Nino memintaku untuk beberapa menit saja membiarkanya memelukku. Entah kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya hatiku saat ini. Pelukan ini sudah tidak hangat seperti dulu lagi,aku rasa keputusanku benar. Dylan adalah masa depanku dan Nino hanyalah masa laluku yang harus aku kubur dalam-dalam. Aku harap ini adalah pelukan terakhir dan obrolan terakhir kami. Aku masih belum siap untuk bertemu denganya lagi.

Bianca&FinskyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang