"Duh, maaf, yah, aku harus pulang. Mama meminta aku menemani ke dokter." Adnan memegang tangan teman kencannya lembut. Belum ada status, sih. Makanya dia bisa santai meminta izin. Jelas santai. Bagi dirinya status berpacaran hanya mengikuti perkembangan zaman saja. Tak punya status juga sebenarnya tak menjadi beban. Tapi tetap aja nggak enak didengar.
Hidup cuma sekali, besok tidak akan bisa dia tarik kembali. Karena itu nikmati saja sekarang. Khas para kaum play boy. Selalu meremehkan makna berhubungan. Termasuk si Adnan ini.
"Jadi, kamu mau tinggalin aku di sini?" Gadis itu memasang wajah lesu. Adnan mengangguk yakin. "Kalau aku larang, kamu mau tidak?" tantang gadis itu mulai berani.
Adnan menaikan alisnya. Siapa dia? Jelas-jelas Adnan akan memilih yang lebih utama, dari pada dia yang baru sekilas dikenal. Dasar wanita. Jelas-jelas dikasih tahu alasan tujuan perginya. Kenapa malah membuat pilihan yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.
"Aku nggak pernah kasar sama wanita, bukan berarti bisa ditindas. Beruntung kita baru masa penjajakan, kalau pacaran, aku yakin saat itu adalah masa penjajahan," ucap Adnan berdiri. Sambil tersenyum, Adnan sempat mengacak rambut sang gadis. "Good bye. Cantik."
Adnan lalu melangkah pergi. Tersenyum bebas tanpa beban. Ah, memangnya apa yang harus disesali. Dia belum memakai hati, baru memakai mata saja untuk terpesona. Hilang satu, seratus yang antri. Repot amat dipikirin. Silaturahmi bisa dilanjutkan kembali dilain kesempatan.
"Maaaaaaa," teriak Adnan saat sudah memasuki rumah. "Mau ke dokter mana, sih? Ganggu orang kencan aja." Adnan menjatuhkan tubuhnya di sofa rumahnya. Sang mama sedang asyik menonton televisi sambil memegang mangkuk kosong, di sampingnya ada juga satu bungkus kacang kulit. Kebiasaan baru sang mama. Makan kacang untuk menghindari serangan jantung, katanya.
"Ke dokter kulit, tapi nggak jadi. Dokternya lagi cuti. Mama mau setrika wajah sama dia. Nggak mau sama yang lain." Mendengar itu Adnan hanya bisa mendengus sebal. Risiko menjadi anak bungsu, pasti selalu dijadikan andalan ke sana, kemari. Padahal masih ada satu lagi pria di rumah yang cukup punya waktu untuk dimintai pertolongan.
"Ah, Mama, bukan bilang dari tadi." Ibu Lidia tak peduli dengan protesan anaknya. Dia bahkan menyodorkan mangkuk dan bungkusan kacang kulit." Jangan bawel! Bukain kacangnya!" Adnan tetaplah Adnan. Boleh dicap sebagai ahli silaturahmi dengan berbagai macam gadis. Tetapi dia akan selalu mengutamakan sang mama lebih dari apapun, termasuk mengupaskan kacang kulit ini sekalipun. Ingat! Surga itu ada di telapak kaki ibu. Selagi masih punya orangtua, berbaktilah semampu kamu bisa.
"Nan, gue masih mau pinjam motor lo buat keliling." Arsal, kakak Adnan ikut duduk di samping sang mama. Ikut menikmati kacang yang baru dikupasi Adnan.
"Jangan lama-lama, motor kesayangan. Lecet setitik, ganti keseluruhan. Besok sore gue mau pakai. Kayaknya kalau nggak pakai itu, kencan gue gagal terus."
"Tadi Mama kacauin kencan kamu lagi?"
"Kapan, sih, Mama nggak ngerecokin? Tapi kalau Mama yang recokin, aku nggak masalah. Mama yang utama." Adnan memeluk sang mama dengan sayang. Wanita yang sangat dia cintai sampai saat ini hanyalah sang mama. Mungkin nanti istri dan anak perempuannya. Tapi nanti, nikah aja belum tahu kapan.
***
"Duh, maaf, aku harus pergi," izin gadis itu tak enak menatap wajah tampan sedang menatapnya tak percaya. Mereka baru saja bertemu, berniat kencan sambil menonton film terbaru di bioskop. Tetapi, si gadis baru saja mengatakan ingin pergi. Belum setengah jalan.
"Sori, yah, Shidarta, aku harus benar-benar pergi. Mamanya temanku kasih kabar. Temanku butuh bantuan." Gadis itu tersenyum simpul. Memasang wajah imut andalan. Siapa tahu berhasil. Biasanya berhasil.
"Kita baru saja makan, belum sempat nonton," desah pria bernama Shidarta kecewa. "Malika, kamu sebenarnya mau sama aku nggak, sih? Apa jangan-jangan karena mau dapat makan gratisan?"
Gadis bernama Malika itu menaikan alisnya. Apa dia bilang? Itu pernyataan sensitif.
"Heh, badan gue emang subur, tapi bukan berarti gue kemarukan mau minta makan gratisan. Sialan!" Malika berdiri dengan wajah berapi.
"Oke, aku minta maaf. Kamu mau pulang? Aku antar, yah?" Malika segera menepis tangan Shidarta.
"Nggak perlu. Oke, good bye. Kita berteman saja." Malika melangkah pergi dengan wajah mengejek. Jangan harap lihat Malika nangis menye-menye ala anak ingusan. No, big no no.
"Sial, tuh, cowok. Dikira gue korban penggusuran apa? Untung udah gue abisin makanan yang terhidang," gerutu Malika melangkah keluar mall. Dia mau pulang dulu sejenak, ambil mobilnya, lalu bergegas ke rumah sang sahabat. Dapat kabar kalau sahabatnya sedang meratapi putus hubungan karena cinta membuatnya tak jelas.
Ya, begitulah para pelaku cinta. Deritanya dibuat-buat. Tinggal melangkah dengan cerita baru aja susah banget. Sukanya sama episode panjang-panjang. Tapi emang yang panjang-panjang enak. Eh, maksudnya rambut panjang. Kalau dikibas pasti cantik.
"Gue lagi lamunin apa, sih?" tawa Malika mengemudi dalam perjalanan menuju rumah temannya. Sambil berdendang ria, Malika mengambil ponselnya yang tergelatak cantik di sampingnya.
Ada suara panggilan. "Iya, Tante, aku di jalan mau ke sana," sapa Malika sopan.
"Apa? Mau pindah rumah? Kenapa? Oke, aku akan bantu." Malika mendengus kesal mendengarnya. Ada-ada saja korban putus cinta.
Jadi gini ceritanya, sahabatnya itu lagi mengalami fase korban cinta ditolak. Nggak ditolak, sih, cuma salah paham dan berakhir saling gengsi.
Inilah bedanya dirinya dengan kebanyakan wanita. Kalau Malika anti sakit hati. Kalau lagi pacaran terus nggak cocok, ya putus. Kalau udah putus, ya bangkit.
Sakit hati sebentar aja. Kasih, deh, satu hari buat uring-uringan. Setelah itu move on. Gampang, sih, ngomongnya. Tapi kalau nggak dicoba, gimana bisa yakin.
"Buat apa memikirkan sakit hati terus menerus? Kayak si hati yang di sana mikirin? Eh, tapi kalau yang di sana masih mikirin, berarti lo bedua yang bego." Malika menggerutu sendiri.
Kalau sudah begini, dia juga yang ikut sibuk. Dan biasanya, Malika akan mengutamakan sahabat dari pada teman penjajakan menuju status berpacaran.
Pacaran aja terus, nikahnya nanti. Kalau sudah mantap.
***
Adnan dan Malika
Jumat, 30 Juni 2017
Mounalizza
KAMU SEDANG MEMBACA
Let it Flow#3
Fiksi Umum"Apa? Tugas gue nyamar jadi pelayan di restoran kita yang di daerah selatan? Ogah, nggak ada bakat gue jadi pelayan." "Please, siapa lagi orang yang bisa gue percaya? Cabang restoran yang di sana memang berbeda. Gue kerja sama dengan dua orang lain...