cerita 6

6 0 0
                                    

SANG PELAYAN HITAM





      Arthur mengernyitkan alis dan Jack terbelalak. Di pintu yang kini engsel pintunya telah berubah menjadi banyak serpihan kecil yang mustahil untuk disatukan kembali dengan lem Alt*co, berdiri sesosok berjubah hitam. Sesosok berwujud manusia dengan jubah hitam dan tudung yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Tidak ada bagian wajah lain yang terlihat, bayangan hitam pekat mengisi tiap celah dari tudung itu. Dua buah titik berkilau berwarna merah terlihat di dalam tudung itu. Sekelebat aura hitam, dingin, dan mencekam menyelingkupi sang makhluk, membuat kedua MC kita kesulitan untuk bernafas. Lalu, perlahan makhluk itu mengangkat kedua lengannya yang tadi tertutup lengan panjang jubah hitam.  Tangan kanannya -yang hanya tulang belulang- mengambang di udara mengarahkan telapaknya ke bawah, sedang telapak tangan kirinya -yang juga tulang belulang- diarahkan ke atas. Sekejap kemudian sebuah sabit perak dengan sisi tajam berwarna merah darah muncul, di susul suara serak dan berat dari sang makhluk.

      “Cerita kalian berakhir di sini… HAHAHAHAHAHAHA!!!“

      Dengan tawa yang mengerikan makhluk itu mengayunkan sabitnya, membuat sebuah sayatan berbentuk sabit di udara berwarna hitam yang melesat dengan cepat ke arah dua pria muda bin tamvan yang tidak bisa bergerak dari tempatnya. Tudung jubah sang makhluk tersingkap, menampilkan sebuah tengkorak dengan cahaya merah menyala di soket matanya, sebuah pemandangan terakhir yang Arthur dan Jack lihat…

      Suara keras pintu yang didobrak menyadarkan Jack dari lamunannya. Ia duduk di sofa merah di ruang “rig” Arthur. Jack tetap memegang tegak koran sore yang ada di tangannya walau ia sempat melamun cukup lama. Mengembalikan fokusnya, ia menengok ke arah Arthur dan mendapatkan rajanya mengernyitkan alis ke arah pintu. Diikuti arah pandangan Arthur ke arah pintu, dan begitu matanya terpaku pada sosok yang berdiri di pintu ia terbelalak.

      Di sana, pintu yang terbuka lebar masih utuh. Engsel kekuningannya masih tertempel kokoh dan terlumasi, menghilangkan bunyi derit atau semacamnya yang mungkin dapat membuat  kesan horor tanpa alasan yang jelas. Daun pintunya, terbuat dari mahoni yang dicat putih nampak mengkilap tanpa satu goresan pun. Iya, sebuah pintu mahoni walaupun putih polos tanpa ukiran yang mencolok tetap memancarkan suatu keindahan karya seni, sesuatu yang memukau dari kesederhanaan.

      Bukan. Fokus Arthur dan Jack bukan di pintu itu. Tapi pada orang yang berdiri di pintu itu. Dengan nafas yang terengah-engah, tangan kanannya terjulur ke depan dengan telapak yang terbuka. Tangan kirinya memegang kusen pintu, nampak gulungan kemeja berwarna putih tergulung ke sikunya. Tanpa rompi krem yang biasa ia kenakan, kemejanya acak-acakan, keluar dari celananya dan kerahnya tidak dikancingkan. Celana cokelat gelapnya cukup rapi, bila kau mengacuhkan ketidakhadiran sepatu di kaki kanannya. Naik ke atas, ke wajahnya. Rambut cokelat yang lebih gelap dari rambut Arthur dikuncir tepat di belakang kepalanya. Jangan tanya bagaimana caranya kunciran rambut sepanjang 7 senti itu bisa berdiri tegak melawan gravitasi. Bagian rambut lainnya tampak lebih normal, hanya acak-acakan mencuat ke sana ke mari. Mata beningnya berwarna cokelat tua senada dengan mata yang seharusnya tampak indah tapi sekarang tampak mengerikan karena pembuluh darah di matanya yang mengembang ditambah kerutan di alis dan sorotan tajam matanya. Hidungnya kembang kempis menarik udara dibantu mulutnya yang menganga.

      Jack belum sempat berkedip, dan tiba-tiba sosok lelaki berwajah manis atau perempuan berwajah tampan itu berteriak dengan lantang:

      “ARTHUR NIMBLEFINGER!!! PEMERINTAHANMU YANG SEMENA-MENA AKAN KUHANC-mmmppphh!?!?”

      Koran sudah terlipat rapi di meja, dan Jack sudah melesat pergi dari sofa.

      “Ahahaha… maafkan aku rajaku, sepertinya asistenku ini sedikit kelelahan. Aku akan membawanya ke tempat istirahat pegawai sekarang.”

Moon HillsWhere stories live. Discover now