| 2 | DIA SANG PEMILIK HATI

6.7K 627 128
                                    


'Apa kau ingin tahu cinta mana yang paling aman? Yang tidak membawa luka? Hanya satu; cintailah Dia Sang Pemilik Hati.'



***


"CIYE..., yang lagi WhatsApp-an sama calon suami...." Kepala Savannah menyembul dari balik pintu. Guratan geli itu terlihat jelas. Tanpa disadari adikku, dia berhasil membuat kedua pipiku merona malu. Kemudian, tanpa kuduga, Savannah melangkah memasuki kamarku, lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Persis di sampingku. "Lihat, dong, Teh. Sava, kan, juga mau tau gimana gombalannya anak pesantren kayak Bang Arqam."

Rasanya aku seperti tersedak saliva-ku sendiri. Arqam? Hatiku bertanya-tanya dengan gelisah. Bodohnya aku menduga calon suami yang adikku maksud adalah Kak Kahleev. Tidak seorang pun di rumahku ini mengetahui perihal laki-laki itu. Aku memutuskan untuk menyimpannya sendiri.

Sebulan berlalu sejak pertemuan kami di resepsi pernikahan tempo hari, aku memang menjalin komunikasi intens dengannya. Sesekali dia mampir ke butikku, hanya sekadar untuk mengajakku makan siang. Kalaupun aku sedang teramat sibuk, maka Kak Kahleev akan datang dengan sekotak nasi, lalu menitipkan pada pegawaiku. Semuanya terus berlanjut. Caranya memerhatikanku, menjagaku, membuatku terlena. Aku lalai. Terlupakan akan keberadaan seorang laki-laki yang lebih dari setahun lalu mengkhitbahku melalui orangtuanya. Aku melupakan eksistensi keluarga Arsjad. Terlalu terbuai dengan cinta masa laluku.

"Dih..., pelit banget, sih, Teh," Savannah mendumel melihatku menjauhkan ponsel. Tidak kupedulikan dia. Benda tersebut justru kusembunyikan di bawah bantal.

Belum, belum saatnya keluargaku mengetahui bahwa hatiku direnggut kembali oleh seorang Kahleev Gibran. Biarlah yang mereka ketahui hanyalah hubunganku dengan putra tunggal keluarga Arsjad baik-baik saja. Kenyataannya pun demikian. Hubunganku dengan laki-laki itu memang baik-baik saja. Sejak ta'aruf kami setahun lalu—sebulan setelah orangtuanya mengkhitbahku, aku memang menjalin komunikasi yang baik dengannya. Dia berhasil menipiskan ketakutanku akan pernikahan. Dia membuatku lupa akan rasa sakit ditinggalkan seseorang yang begitu kucintai. Dia adalah seseorang yang Allah kirim untuk membuatku semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Aku yang tadinya hanya sekadar melaksanakan sholat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, menutup aurat dari yang bukan mahrom, sedikit demi sedikit mulai mempelajari ilmu agama dengan lebih baik lagi. Referensi bacaanku pun mulai bertambah. Dia menyarankanku untuk memperbanyak membaca perihal wanita-wanita sholehah yang namanya tertulis dalam Al-Qur'an, pun buku-buku yang mengulas tentang seorang muslim dan muslimah yang dicintai Allah.

"Tapi, yang terpenting, jangan lupa untuk selalu mengaji seusai sholat. Agar hati tenang, Sya."

Ya, kehidupanku setelah mengenalnya luar biasa baik-baik saja. Ada ketenangan lahir dan batin yang kudapatkan. Meskipun pada kenyataannya, keluarga Arsjad memintaku untuk menunggu dua tahun. Membiarkan laki-laki itu menyelesaikan pendidikannya dengan tenang di sana. Di sebuah negara yang jauh sekali dari tempatku berpijak saat ini.

Jujur saja, pada awalnya aku sempat mempermasalahkan perbedaan usiaku dan Arqam yang terpaut dua tahun—ya, dia lebih muda dariku, tetapi selebihnya aku tidak memiliki masalah apa pun. Termasuk tidak pernah bertatap wajah dengannya. Benar, yang datang ke rumahku untuk mengkhitbahku pada kedua orangtuaku hanyalah orangtuanya, Arqam tidak ikut serta. Dia tidak diizinkan untuk pulang ke Indonesia sebelum pendidikannya benar-benar selesai. Sungguh, aku sama sekali tidak memiliki masalah dengan itu. Bagiku, Arqam berhak mendapatkan ketenangannya dalam meraih apa pun yang tengah dia perjuangkan di Yaman. Lagian, tahun ini kami—aku dan ayah ibunya—berencana untuk umroh sekaligus mengunjunginya.

ENDEAVOR (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang