Bagian 3

434 41 5
                                    

Keadaan sepanjang koridor rumah sakit telah sepi menginjak malam yang mulai gelap. Sejauh waktu itu Marshall belum sadar dari pengaruh obat bius. Dokter berkata obat bius itu hanya berpengaruh tiga jam namun bagaimana jika Marshall tidak bangun juga seperti sebelumnya? Tidak ada yang tahu kapan Marshall akan bangun.

Kegalauan itu dirasakan oleh kedua gadis diluar kamar Marshall. Keduanya diam, berdiri menyandar pada tembok berwarna putih bersih dengan jarak terpisah. Tatapannya menerawang jauh menerawangi keprihatinan Marshall.

"Aku akan membantu Marshall"

Yasmin memulai pembicaraan. Kejadian tadi memantapkan hati Yasmin untuk membantu Marshall sembuh dan itu artinya Yasmin harus mengenyampingkan ketakutannya terhadap lelaki itu.

Melia menoleh, menyandarkan kepalanya pada dinding tembok. "Terimakasih banyak"

Suara itu tidak bertenaga. Tidak ada gurat semangat dalam ucapan Melia disana. Yasmin menghela nafas, membalas tatapan Melia lembutbdisampingnya.

"Mel, makan. Seharian kamu belum makan"

"Nanti"

Melia kembali memposisikan punggungnya menyandar dinding. Tatapannya lurus pada atap lorong yang sama putihnya.

"Mel, jangan seperti ini. Isilah perutmu! Aku tidak mau kamu sakit"

Yasmin membujuk. Tangannya menggenggam jemari Melia rapat.

"Aku akan bantu Marshall sembuh. Aku akan tetap berada disamping Marshall. Aku akan berusaha, Mel. Setidaknya kamu harus sedikit tenang dan mulai makan teratur"

Melia melirik bujukan Yasmin disampingnya. Ada tatapan khawatir dan memohon disana.

"Aku khawatir, Mel" Yasmin kembali berucap.

Melia mengangguk, membalas genggaman Yasmin tak kalah kuatnya. Keduanya saling menguatkan, terlepas keberhasilan kesembuhan Marshall nantinya setidaknya ada harapan, bukan?

"Jaga Marshall selama aku pergi kekantin"

Yasmin mengangguk semangat. Makanan yang dibawanya siang tadi sudah tidak layak makan sehingga alasan baiknya Melia mau pergi kekantin untuk makan malam dan mungkin sedikit kopi susu hangat akan membuatnya rileks.

Melia pergi setelah menepuk bahu Yasmin. Keduanya berpisah setelah Melia menghilang dibalik tembok koridor sebelah kanan arah lift.

Yasmin kembali kekamar Marshall, duduk kembali dikursi samping ranjang menunggui lelaki itu membuka mata. Tak ada keraguan saat Yasmin menggenggam tangan kiri Marshall, memberi usapan hangat nan nyaman disana. Keraguan entah pergi kemana bahkan ketakutan akan sentuhan lelaki ini seperti kemarin tidak lagi menakutinnya. entah mengapa, namun niat Yasmin untuk membantu memungkinkan ia harus berusaha melenyapkan traumatiknya.

Bibir Yasmin mengatup tiada suara. Hanya kekosongan dikedua mata cokelatnya, melamun. Kesunyian membawa Yasmin pada bayangan masa lalu yang lelap.

"Yas..."

Panggilan itu membuat kedua mata Yasmin berkedip. Mendapati panggilan Marshall yang telah menunduk sendu menatapnya.

"Kamu sudah sadar, Mar?" suara lirih itu terdengar haru dipendengaran Marshall.

Telapak tangan Marshall terangkat. Membelai pipi Yasmin lembut. "Kamu terlihat sedih"

"Bagaimana aku tidak terlihat sedih, aku memintamu tidur kemarin tapi kamu terlalu lama terlelap Mar dan aku khawatir"

"Aku minta maaf" Marshall nampak khawatir tiba-tiba.

Yasmin mendekat, tangan kanannya memijit pelipis Marshall pelan. Memberi keintens-an kedekatan mereka. Keduanya saling menatap teduh, tidak ada kecanggungan dari kedekatan keduanya. Hanya saling menyentuh dengan usapan menenangkan dan tatapan keduanya.

SickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang