Bagian 7

177 14 1
                                    

"Apa kabar, Marshall? Lama tidak bertemu."

Marshall menatap uluran tangan lelaki berkaca mata didepannya masam. Lelaki yang nampak berusia diatas tiga puluh tahun itu seolah kenal dekat dengannya namun tidak untuk Marshall.

Marshall membalas jabat tangan lelaki itu enggan. "Baik"

Lelaki itu tersenyum tipis sembari melepas jabat tangannya. Jawaban yang terdengar tidak akrab dipendengarannya namun bukan masalah besar untuk lelaki berkaca mata itu. Lelaki itu tersenyum tipis sebelum kembali mendongak menatap mata Marshall yang penuh curiga.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Kedua mata Marshall sekilas menelisik sikap lelaki berkaca mata itu.

"Menunggu seseorang" jawab singkat Marshall.

Lelaki itu kembali tersenyum, nampak ramah namun masih belum mengendurkan rasa curiga Marshall akan lelaki didepannya ini.

"Bagaimana kabar istrimu?

Sedikit, sepersekian detik Marshall menangkap gestur licik disana. Sebegitu mengenal dirinya kah hingga lelaki ini juga mengenal istri.....

Argh, membuat pusing saja. Marshall hampir-hampir menanyakan siapa lelaki ini sebenarnya jika saja sapaan Yasmin yang tiba disampingnya menghentikan kerja otaknya.

"Selamat siang Sir. Harris"

Suara lembut Yasmin membuat lelaki bernama Harris itu menoleh, menatap keberadaan Yasmin aneh sebelum melirik Marshall kembali yang masih tidak sedikitpun melepas pandangannya dari lelaki bernama Harris itu.

"Siang Yasmin"

Harris tersenyum ramah. Lelaki berperawakan jakung itu membuang muka sekilas.

"Nampaknya akan jauh lebih baik" gumaman tipis Harris samar terdengar. Meski terdengar, gumaman Harris tak dapat dipahami keduanya, nampak jelas bagaimana Yasmin mengangkat alis bingung sekarang.

Apa maksudnya? Marshall membatin.

"... Kalau begitu aku pergi dulu" Harris berpamitan. Kedua bola mata Harris sempat kembali pada tatapan Marshall, tentunya dengan senyum tipis yang tak dapat menghapus curiga dibenak Marshall.

Bagi Marshall senyum itu menurutnya mengandung kelicikan tersembunyi dan berbahaya. Entah mengapa sedikitpun meski tak mengenalnya Marshall benar-benar tidak menyukai cara Harris berbicara.

Tubuh Harris pergi melewati keduanya menuju pintu timur. Kepergian itu tak ubahnya membuat Yasmin terpaku sesaat hingga mengikuti langkah perginya sang dosen pengampu bisnis dan masyarakat yang pernah mengajarnya di semester tiga dulu. Ketahuilah Sir Harris adalah dosen paling nikmat yang pernah ada selama ini. Setidaknya begitulah cara pandang para mahasiswinya.

"Aku memintamu untuk jangan sedikitpun mendekati lelaki itu"

Suara Marshall memelan sengit. Kedua tangannya mengepal. Sesaat ia melamun tadi, sebelum kata-kata itu keluar tanpa pertahanan di dalam kepalanya.

"Andai aku bisa memanggilnya Sean"

"Yasmin!"

Suara tegas Marshall membuat Yasmin terkejut seketika. Tubuhnya kaku mendengar nada tajam itu menusuk kedua telinganya. Tubuhnya tak berani berbalik, tahu apa yang menjadi sebab Marshall membentaknya.

Helaan nafas kasar Marshall terdengar. Bahkan membuat Yasmin enggan untuk berbalik bahkan menatap lelaki dibelakangnya.

"Berbaliklah dan angkat dagumu"

Suara Marshall memelan. Menahan diri dari bentakannya tadi jika saja ia tidak teringat ketakutan Yasmin yang pernah ia lihat dulunya. Pelan, Yasmin membalikkan tubuhnya. Sedikit enggan dan takut-takut mengangkat dagu.

SickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang