Bab 4 : Ganin

8K 737 22
                                    

Ganin

"Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau sentuh. Aku ingin kau tahu bahwaku selalu memujamu. Tanpa dirimu aku merasa gila. Once - Dealova"

Kata-kata Abram selalu terngiang di telingaku. Aku tahu perempuan butuh kepastian, tapi pria sepertiku butuh keyakinan lebih agar berani mengambil keputusan. Aku yakin cintaku hanya untuk Adistia, aku yakin hidupku tak akan sama jika tanpanya. Tapi aku punya banyak pertimbangan unttuk menikah. Orang lain akan beranggapan aku pengecut atau plin-plan. Tapi aku pria dengan penuh perhitungan. Seperti saat aku mengendarai mesin besar yang mampu menampung ratusan orang, aku benar-benar memperhitungkan karena keselamatan mereka adalah tanggung jawabku. Adistia adalah tanggungjawabku sepenuhnya saat aku sudah memintanya dari orangtuanya. Kebahagiaan, kesehatan, dan keselamatan Adistia adalah tanggung jawabku.

Semua tak semudah pemikiran orang yang tak mengerti keadaanku. Menganggap menikah adalah hal yang sangat mudah. Bukan aku tak ingin menikahi Adistia, aku sangat ingin menikahinya lalu memiliki seutuhnya. Tapi aku tak mau setelah memiliki merasa memiliki dia lalu aku tak menjaganya tak memastikan dia bahagia. Aku punya banyak pertimbangan, jika aku sudah memiliki apa yang aku cita-citakan untuk membahagiakan Adistia barulah aku akan meminang kekasihku itu. Di mana aku tak akan meninggalkan Adistia lagi dalam waktu yang lama. 30 jam dalam 7 hari harus terbang dan meninggalkan istri bukanlah cita-citaku. Apalagi aku bukan lagi di penerbangan domestik, yang artinya tak akan ada waktu untuk keluarga yang cukup lama. Sebagian waktuku akan ada di langit bersama keluarga baru.

"Mas Ganin, malah ngelamun. Nggak turun?" tanya Laras

"Nggak lah aku di sini aja, lagian cuma 30an menit mau prepare buat next flight."

"Aku nggak sabar sampai di Amsterdam," seru Laras dengan mata berbinar.

Kalau aku bukan lagi berbinar tapi perjalanan ini sesuatu yang melelahkan, lebih dari 13 jam di atas langit membawa ratusan orang rasanya bukan sesuatu yang membahagiakan tapi melelahkan. Apalagi harus jauh dari orang-orang tersayang. Belum lagi ditambah aku masih punya masalah yang harus kuselesaikan tapi aku harus menunggu sampai tiba di Amsterdam barulah bisa menghubungi Adistia. Itu pun kalau Adistia mau mengangkat telponku. Pesanku saja belum dibalasnya.

"Free besok pulang ke mana mas?"

"Bandung," jawabku singkat karena aku memang sedang ingin sendiri.

"Oh... Ya udah aku turun ya," kata Laras yang kubalas dengan deheman saja.

Aku tak mempedulikannya lagi, kuamati ponselku dan membaca pesanku lagi untuk Adistia yang tak terbalas.

To: My Future

Adis, mas minta maaf
Andai mas bisa bebas pergi semau yang mas mau
Mas sudah ke Bandung sekarang juga
Mas sedang ada penerbangan CGK-DXB-AMS
Nanti mas hubungi kamu lagi video call kalau sudah sampai di hotel

Jangan Takut MenikahikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang