1: Represent

133 29 8
                                    

Ayolah.. Ini udah tahun keempat lo semua disini.. Itu rumus mudah..

"Diagram alir kuantitatif tidak sesusah itu." tukas dosen senior Dr. Ir. Antonius Rubety, M.Si. sambil memukul-mukulkan stik kayunya ke papan tulis. Alisnya yang mengerut membuat wajahnya menjadi lebih menyeramkan.

Haruskah gue nunggu ada yang ngejawab? Tetapi dosen bakal nganggep kita ini murid yang bego. Dimana jelas-jelas bukan!

"Kehitungan tiga, dan kalian lari memutari kampus, atau menyalin teori empat lembar folio. "

Lama banget sih! Cepetan elah, lo semua mau gue lagi yang jawab?!

"Satu.."

Ayolah!!! Seenggaknya Hanin kek???

"Dua.."

Oh Tuhan!!

"Ti-"

"Dari Netralizer menuju Decanter, digunakan Methanol, Na2SO4, Metil salisilat, Asam salisilat dan air secukupnya." Shiran mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak menjawab pertanyaan yang di lontarkan guru yang mengajar materi Perancangan Pabrik itu. Kejadian yang sama pernah terjadi sebelumnya dan ia sudah tidak tahan lagi. Ia tidak mau kena hukuman lagi hanya karena menahan dirinya.

"Tepat sekali, Shirania! Seperti yang saya kira, anak terpintar di fakultas ini!"

Perkataan gurunya lagi-lagi disambut tepukan yang cukup meriah di kedua telinganya. Sudah biasa bagi seorang Shiran mendengar tepukan yang begitu meriah, bahkan ia pernah mendengar tepukan yang lebih hebat dari ini.

Ya, tentu saja itu biasa bagi mahasiswi terpintar di Fakultas Teknik Universitas Tjandranegara.

Memang normal bagi mahasiswi ambisius seperti Shiran untuk langsung mengerti pada pertemuan pertama. Dosennya memang agak keterlaluan karena akan memberikan hukuman apabila tidak ada satupun yang bisa menjawab quiz yang diberikan pada pertemuan pertama. Masalahnya, quiz itu terdengar seperti soal di ujian akhir semester. Gila.

Ia menengok ke belakang, melirik sahabatnya yang hampir sama ambisius nya, yang ia herani tidak menjawab. Haninta Kurniawan, yang ternyata sedang tertidur pulas. Bahkan ia dapat mendengar samar-samar suara dengkurannya.

Hanin. Tertidur dalam kelas Perancangan Pabrik. Pada minggu kedua tahun keempatnya kuliah. Luar biasa.

Dan alarm istirahat pun berbunyi. Shiran segera merapikan buku-buku pelajarannya ke dalam tas lalu bergegas pindah ke ruangan Kalkulus.

Menjadi mahasiswi teknik di Universitas terbaik di Indonesia merupakan hal yang tidak mudah. Ia harus belajar setiap hari, hanya Sabtu dan Minggulah waktu dimana ia dapat bernafas, itupun kalau ia kelar menyicil tugas pada hari biasa.

Shiran tidak punya waktu untuk memikirkan lelaki-lelaki yang memandangnya dengan tampang tidak enak setiap kali ia berjalan di koridor. Menurutnya, pakaiannya sopan. Tidak pendek, tidak tembus pandang. Ketat pun tidak, ia memakai baju yang pas dengan tubuhnya. Mana pula, ini musim hujan. Dingin akan selalu menerpa tubuhnya yang memiliki sedikit stok lemak. Tetapi mengapa mereka memandangnya seperti itu? Shiran tidak pernah habis pikir.

Setelah meletakkan tasnya di atas meja kedua dari depan di ruang Kalkulus–yang sekarang di gunakan mahasiswa semester 7 untuk mempelajari Ekonomi Teknik, ia menghampiri Hanin, sahabat karibnya. Ia dan Hanin adalah dua orang terpintar di Departemen Teknik Kimia. Keduanya sama-sama pintar, dan sama-sama cantik dengan gaya mereka sendiri. Mereka berteman sejak tahun pertama mereka masuk, dan kini sudah mulai tahun keempat mereka satu fakultas, satu jurusan.

It's Nothing But MoneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang