2: Realized

105 24 1
                                    

♝♝

Shiran mengaduh pelan saat Syarani Rizaldi, adiknya yang berbeda empat tahun dengan dirinya  membangunkan dirinya dengan kasar. Ia meneplak-neplak tubuhnya dengan tangan telanjang, dimana bunyi teplakan terdengar nyaring di telinga keduanya.

Tidurnya semalam tidak terlalu nyaman. Ia begadang sampai pukul 1 karena sebuah presentasi yang menyebalkan, dan ia harus bangun pukul 5 untuk persiapan kuliah. Perjalanan yang melelahkan menuju kampus akan ia tempuh selama 1 setengah jam menggunakan kereta.

"Cepat mandi terus turun sarapan. Mama udah buatin bihun goreng!" teriak Syara lalu membanting pintu kamar kakaknya dengan keras.

Apa-apaan sih?! Gertak Shiran dalam hati. Ia paling benci kalau Syara yang membangunkan dirinya. Tidak pernah selow, tidak pernah penuh kasih sayang. Dulu bahkan pernah membuat tulang keringnya setengah memar.

Ia segera merapihkan buku pelajaran dan  laptopnya ke dalam tas lalu masuk ke kamar mandi. Air yang dingin membuat sel-sel di dalam tubuhnya seperti membeku. Berlanjut ke memakai kemeja yang belum pernah ia pakai ke kampus, lalu ia sedikit berias menggunakan lip balm, krim wajah dan bedak, hanya supaya debu tidak mendesak masuk pori-pori wajahnya dan menimbulkan jerawat disana-sini. Hari ini juga ia membiarkan rambut panjangnya tergerai. Entah mengapa, hari ini ia tidak ingin terlihat tomboy karena selalu menguncir rambut ke kampus.

Ia rampungkan sarapannya dengan cepat, benar-benar tidak ingin mendengar nasihat-nasihat membosankan yang setiap hari keluar tanpa henti dari mulut orang tuanya.

Ia tahu, ia tidak boleh melawan orang tuanya.

Setelah makan, ia segera mengenakan sneakers andalannya lalu bergegas keluar rumah membawa tasnya yang berat. Khusus hari ini ia mau membawa laptopnya yang tebal bukan main. Saat ia sampai, ia lihat jam tangannya, ternyata masih ada waktu sebelum kelas kuliah pertama dimulai pada pukul 8. Waktu itu ia gunakan untuk mengitari fakultas tanpa arah, tanpa tujuan, menggunakan sepeda yang ia parkirkan depan stasiun.

Sekedar berolahraga pagi, katanya.

Ketika sudah dekat waktu masuk, ia segera mengarahkan sepedanya menuju ke Fakultas Teknik, dan ia telat menyadari bahwa banyak orang yang setengah berlari menuju lobi fakultas. Setelah memakirkan sepedanya, Shiran baru menyadari adanya kegaduhan dari arah yang ditujunya. Shiran yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa melongo saat seseorang berambut hitam berantakan keluar dari mobil Ferrari merah yang parkir seenaknya di depan lobi.

Orang tersebut berperawakan lebih tinggi darinya, menurutnya, dan ia mengenakan kacamata hitam layaknya hendak ke pantai, sambil membawa tas di sebelah pundaknya, memberikan aksen sok keren di mata Shiran.  Jelas-jelas ini di kampus.

Ia berjalan ke dalam kampus setelah mengunci mobil, tangannya masuk ke dalam kantong. Beberapa orang disekitarnya berbisik-bisik sambil mengarahkan pandangan kepada laki-laki tersebut, termasuk Shiran. Suara bisikan itu pun sampai di telinga laki-laki tersebut.

Ia tahu ia akan jadi bahan omongan.  Mentalnya tidak kurang dari siap.

Shiran adalah orang yang menyukai, bahkan mencintai keteraturan. Ia bisa menjadi sangat, sangat galak apabila seseorang melanggar peraturan, apalagi sampai menyusahkan orang lain. Melihat tingkah laku lelaki tersebut, Shiran mengangkat lengan bajunya dengan geram lalu bergegas ke dalam, menyusul orang tidak tahu aturan tersebut, terjun ke lautan mahasiswa yang terlihat seperti ingin menonton konser.

Di dalam, orang-orang berebutan masuk ke dalam hall, tempat rapat besar fakultas biasanya diadakan. Hall itu berada tidak terlalu jauh dari pintu lobi, dan fakta itu membuat lobi jauh lebih sesak.

It's Nothing But MoneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang