Kabar Duka

364 86 84
                                        


Setelah sekian lama
ku jalin cinta, dengan dirimu
Tiada ku rasakan bahagia
kan ku akhiri semua disini

***

Rena menopang dagu di meja ruang tamunya. Seharian menunggu sesuatu yang mustahil untuk dilakukan Mario, memberi kabar. Mengapa pria itu enggan sekali untuk memberi kabar? Mengapa hobinya hanya membuat khawatir Rena? Sesungguhnya wanita tidak suka diperlakukan seperti ini. Wanita benci kata MENUNGGU. Really?

"Sebenernya Mario sayang nggak sih sama aku?" Rena tampak frustasi dibuatnya.

Baru saja Rena bergelut dengan pikirannya, ponsel Rena berbunyi didalam saku celananya. Sedikit terganggu, Rena membaca pesan singkat yang baru saja masuk. Jantungnya nyaris lepas saat ia mencerna kalimat pendek itu.

Sender : Mario Mahendra

Sayang... Aku kecelakaan.

Tanpa fikir panjang, Rena langsung menelpon Mario. Dengan rasa panik ia memaki ponselnya saat tiba-tiba nomor Mario tidak bisa  dihubungi.  Puluhan SMS yang Rena kirim belum satupun ia menerima laporan pengiriman. Itu membuat Rena semakin panik. Yang dibayangkannya hanya Mario dengan luka dan darah disekujur tubuhnya. Rena berusaha mengenyahkan pikiran itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Mario pasti baik-baik aja. Dia pasti baik-baik aja. Aku yakin dia pasti baik-baik aja."

Kalimat itu terus terucap, seperti sebuah mantra yang harus diucapkan.

***

Rena berlari ke dalam kamarnya saat ponselnya terdengar dari dapur. Ditemukannya ponsel yang menyala-nyala dengan nada dering yang mengiringinya.

"Mario?!" pekik Rena, segera ibu jarinya menggeser tombol hijau itu. Terdengar suara deruan nafas yang tidak beraturan disebrang sana. Rena semakin panik.

"Mario? Kamu dimana sekarang? Kamu baik-baik aja kan?" Rena tidak sabar mendengar jawaban dari Mario disana.

"Khawatir banget ya sama aku?" Mario menggoda, senyumnya mengembang walau Rena tidak mengetahuinya.

"Aku serius, Mario. Jawab aku, kamu baik-baik aja kan?"

"Aku baik-baik aja kok sayang. Cuma lecet-lecet kecil. Yang parah jempol kaki sobek, harusnya dijait tapi aku nggak mau"

"Hah?" Rena merinding mendengarnya. "Kok bisa, sih? Kamu habis dari mana?"

"Aku sama yang lain habis pulang dari rumah temen. Aku bonceng Meta dan kita sempet bercanda di atas motor. Tiba-tiba motor yang di depan jatoh, karena kaget akhirnya aku banting arah".

Rena diam. Seharian menunggu kabar dari Mario yang nyatanya Mario sedang bersama teman-temannya? Dan santainya Mario mengungkapkan kemesraannya dengan Meta tanpa sensor? Ya, itulah kenyataannya.

"Yang lain juga pada luka lebam di tubuh mereka. Cuma aku yang paling parah. Tapi sekarang aku udah merasa baikan kok" lanjut Mario menghempaskan kekhawatiran Rena.

"Syukur deh kalo gitu. Aku seneng dengernya"

Mario mengangguk disebrang sana . "Tapi aktivitas aku jadi agak keganggu gara-gara ini. Belum lagi setiap saat harus ganti perban, ribet tauk."

Rena terkekeh mendengar ocehan Mario bernada manja itu. Rena merindukan suara itu sejak lama dan Rena juga sangat  merindukan saat-saat seperti ini. Dimana hanya ada Mereka yang saling bertukar cerita dan membagi tawa tanpa ada pikiran Mario yang tertuju pada teman-temannya.

"Sabar dong, sembuh itu ada prosesnya. Kamu juga harus bisa nerima resikonya"

"Tapi kalo seandainya ada sebuah pilihan, aku bakalan milih putus cinta dari pada kecelakaan gini. Kecelakaan ini banyak ruginya buat hidup aku."

Degh!

Hati Rena mencelos mendengarnya. Aku milih putus cinta dari pada kecelakaan gini. Mario menginginkannya untuk pergi. Rasa sakit yang entah  harus di deskripsikan seperti apa. Rasanya Rena ingin mengungkapnya saat itu juga. Ah, percuma jika Rena jelaskan saat ini. Mario tidak akan mengerti dan tidak pernah mau tahu. Jangankan untuk tahu, memahaminya pun dia takkan mampu.

"Rena, kamu masih disana?"  tanyanya seolah tak terjadi apa-apa.

Rena menelan ludah, dan hanya bisa terdiam disana. Terdengar gerutu Mario yang tampak kesal karena Rena tidak menyautnya. Hingga akhirnya sambungan teleponenya terputus. Mario yang mematikannya.

Rena masih diam disana. Senyum yang pahit jelas terlihat dibibirnya. Saat itu pula air matanya menetes. Dengan cepat ia meraih ponselnya, mengetik beberapa kalimat lalu menekan tombol 'send'.

From : Antarena Berlian

Egois itu nggak baik. Didunia ini bukan cuma tentang kamu sendiri. Jangan cuma mentingin kebahagiaan kamu, orang lain juga berhak bahagia. Dan untuk hubungan kita, aku tegaskan disini bukan cuma tentang hati kamu, tapi ada hati aku didalamnya. Aku capek, Mario. Capek jadi yang terakhir buat kamu. Kalo memang kehadiran aku nggak berarti apa-apa buat kamu, kayaknya nggak ada yang harus dipertahankan lagi.

Beberapa saat kemudian handphone Rena berbunyi. Pesan yang cukup mengiris hati.

Sender : Mario Mahendra

Inilah Mario Mahendra, mungkin bagi kamu ini jahat. Tapi aku memang seperti ini. Perlu aku tegaskan, sahabat itu adalah segalanya tapi bukan berarti pacar itu nggak penting. Kamu itu penting tapi nggak harus di istimewain. Dan tolong! Belajar ngomong yang sopan, cari waktu yang tepat!

Air mata sudah membasahi pipinya, bahkan semakin deras air mata itu keluar. Rena tahu ini waktu yang salah. Dia baru saja mendengar kabar duka tentang Mario. Tapi baru saja ia mendapat kabar duka dari hatinya. Rena sudah tidak bisa lagi membendung semuanya.

Pergi. Tetap tinggal. Ketika otaknya meminta Mario untuk pergi dari sana. Alam bawah sadarnya masih menginginkan  Mario. Hingga akhirnya muncul yang namanya ketidak pastian antara pergi atau tetap tinggal.

~Semudah itu kamu membuat luka, hingga aku menjadi lebih terbiasa. Begitu pula semudah itu kamu berkata, seakan akan hati ini hanya sebuah sampah yang menjijikkan~

The Story Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang