Rena menggeliat merasakan hangat ditubuhnya. Melalui kedua mata yang belum sepenuhnya terbuka, ternyata ini sudah pagi. Tangannya mencari handphone yang tidak jauh tergeletak di sampingnya, berharap ada sebuah pesan baru untuknya. Matanya yang sedikit bengkak kesulitan untuk menyesuaikan cahaya dari layar handphone. Kenyataannya, tidak ada pesan baru untuknya."Hhuuhh"
Rena bangkit lalu bersandar pada tumpukan bantal tebal. Pandangannya mengarah ke luar jendela dengan tatapan sedih yang menyelimutinya sejak kemarin. Bahkan matahari-pun sudah muncul dari persembunyiannya untuk mengucapkan selamat pagi. Tapi pria itu, masih enggan muncul. Bahkan untuk memberi kepastian saja tidak.
Dari kemarin Rena belum mendapat kepastian dari Mario. Entah kenapa Mario belagak sok sibuk hingga meminta waktu untuk menjawab semua pertanyaan Rena. Tapi, saat itu pula Mario memasang profil BBM bersama teman wanitanya, begitu dekat dan terlihat mesra. Siapa lagi kalo bukan Meta Izani,persahabatan di balik batu. Rena rasa Meta menyukai Mario begitupun sebaliknya? Dan untuk sekarang ia tidak tau hubungannya sudah kandas atau masih menggantung tanpa arah.
***
Tepat pukul 12 siang, Rena masih belum keluar juga dari kamarnya. Semangkuk sup dan susu yang belum disentuhnya sejak pagi membuat kesan dingin pada menu sarapannya itu. Tidak ada yang menegur prilaku bocah Rena. Rumahnya selalu sepi setiap hari.
Semenjak perceraian kedua orangtuanya sejak kecil, Rena tinggal dengan nenek, kakek dan kakak laki-lakinya. Tapi hal itu tidak memutuskan hubungannya dengan kedua orangtuanya yang sudah memiliki keluarga baru. Setiap bulannya mereka selalu bertemu sekedar memberi uang untuk kehidupannya. Sementara nenek dan kakek sibuk mengurus bengkel kepunyaan mereka, dan kakak laki-lakinya yang bernama Zafran, sudah bekerja sebagai Komandan Mesin di Perusahaan besar di Bandung.
"Haachiimm."
Ia bersin lalu sibuk menyeka hidungnya dengan selembar tissu. Rena berbaring lemas dengan wajah yang pucat diatas tempat tidur dan bersembunyi dibalik selimut tebal. Akibat menangis semalaman lalu lupa makan, akhirnya Rena sakit demam. Belum lagi rasa pening di kepalanya karena Rena juga memiliki problem Anemia yang cukup parah.
"Hai Rena"
Suara ceria, lantang dan juga kekanak-kanakkan itu sudah pasti Dhifa. Huhh. Untung saja Rena tidak sekelas lagi dengan Dhifa. Bayangkan saja betapa menderitanya kuping Rena mendengar sapaan cempreng nya setiap hari.
"Hai, dhif"
"Nggak keberatan kan kalo aku kesini? Hari minggu aku so bored tauk! Makanya aku kesini"
Rena menggeleng pertanda tidak masalah dengan kehadirannya.
"Aku bawain bubur jagung buat kamu"
Dhifa meletakkan sebungkus bubur jagung di atas meja belajar Rena dan sedikit menepikan sarapan pagi Rena untuk menyesuaikan tempatnya. Lalu Dhifa berjalan menghampiri sisi tempat tidur Rena.
"Thanks ya, dhif"
Dhifa terkekeh lalu mengangguk. "Di tahun ke tiga ini kita masih sahabatan ya, ren. Tapi sayang nggak sekelas lagi" seketika ekpresi cerianya berubah.
"Mau gimana lagi, peraturan mengacak kelas udah jadi kebiasaan rutin setiap tahunnya" sahut Rena.
Dhifa mengangguk. "Ya, benar. Tapi setidaknya kelas kita berhadapan. Aku di kelas XII-IPA 1 sementara kamu di kelas XII-IPA 4"
"Ya, itu tidak terlalu buruk" tanggap Rena sedikit lemas.
"Pucet banget" Diulurkannya sebelah tangan untuk meraba kening Rena.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story Of Us
AcakMencintailah seperti engkau tidak pernah disakiti. Tapi nyatanya cinta yang menyakiti hati yang mencintainya.