Aku selalu berjalan hilir-mudik kesana kemari untuk menyelesaikan tugasku. Aku harus berlari terbirit-birit hingga kadang kertas yang kubawa terbang dan aku harus melompat untuk menggapainya.
Ya, aku masih berada di universitas kedokteran waktu itu. Satu-dua tahun lagi akan lulus dan akan memiliki gelar kedokteran. Saat itu aku sama sekali tidak mengenali siapa itu kau, hingga akhirnya dosenku berkata untuk mengunjungi universitas kedokteran di sebuah kota untuk sejumlah keperluan.
Aku tahu persis dimana universitas kau berguru karena sebetulnya aku tinggal di kota universitasmu berada, hanya saja kuliah di ibu kota.
Keesokan harinya, aku bersiap-siap pukul setengah enam pagi dan memakai pakaian terbaikku; kemeja kotak-kotak warna tosca, celana jins panjang hitam, sepatu kets yang baru kubeli minggu kemarin, dan kacamata tentunya. Ohya, aku berkacamata, mulai dari kelas empat sekolah dasar. Kau tahu, kan, aku memiliki rambut hitam legam bergelombang yang selalu terikat seperti ekor kuda. Aku tak pernah sekalipun untuk menggerai rambutku.
Jam setengah enam lebih lima belas menit, aku berangkat naik ojek online yang sudah kupesan. Aku sudah memiliki SIM dan bisa mengendarai mobil, tapi aku punya trauma yang berarti dan hanya mengendarai seperlunya saja.
Oke.
Aku sudah sampai. Di universitasmu. Yah, aku cukup bingung dibuatnya. Disini aku tak mengenal siapapun, bagaimana aku ingin bertanya?
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi dosenku. Beliau menyuruhku untuk mengunjungi meja registrasi di pintu masuk utama dan mencari nama Soraya Peterson.
Tunggu. Soraya Peterson?
Sepertinya aku mengenalinya. Ah, mungkin hanya kebetulan saja. Dia, kan, sudah....
Seketika saja semuanya berkelebat di pikiranku. Mobil, jembatan, pisau, darah....
Pembunuhan.
Kakiku langsung lemas saat itu. Aku duduk di salah satu bangku taman di universitasmu. Aku membiarkan tubuhku beristirahat sejenak dan melupakan kejadian yang tiba-tiba saja berlalu-lalang di pikiranku.
Setelah yakin bahwa diriku akan baik-baik saja, aku merogoh tasku dan mencari air. Kemudian, kulanjutkan misiku untuk mencari orang bernama Soraya Peterson.
Pintu utama terletak cukup jauh dari tempatku berada. Tapi tak masalah untukku jika untuk melaksanakan tugas dari dosenku.
Aku sampai di meja registrasi dan bertanya apakah ada mahasiswi bernama Soraya Peterson. Dia--yang bernama Evelyn Aston--menyebutkan dimana Soraya berada.
Aku langsung menuju tempat yang disebutkan dengan sedikit bertanya pada orang-orang yang berlalu-lalang, toh, aku tak tahu denah universitas ini.
Langkahku terhenti saat melihat sesosok gadis yang sangat mirip dengan sahabatku. Ia sungguh-sungguh terlihat seperti sahabatku. Ia menyapaku.
"Hai. Anak baru ya?" tanyanya.
"Hai, saya mau bertemu Soraya Peterson. Apakah kau mengenalnya?"
"Huh? Apakah aku salah dengar? Kau tidak tahu siapa aku?" tanyanya. Dia sungguh berbicara sepertimu, sahabat.
"Tidak," jawabku singkat. "Jadi, kau tak mengenal Soraya, kan? Lebih baik aku pergi dulu untuk mencarinya."
Tangannya menghadangku untuk berjalan. "Aku, Soraya Peterson. Ada apa kau mencariku? Aku tidak pernah diberitahu untuk menemui seseorang sepertimu." ucapnya dengan nada tinggi setengah sombong.
"Baiklah. Aku Kayla Collins dari universitas di ibu kota. Aku mendapat tugas dari Mrs. White untuk mencarimu dan membantuku menemukan seseorang bernama Jason Savarion." terangku.
"Kau mencarinya? Tidak salah orang?" tanyanya.
Aku mengangguk. Lalu dengan bahasa tubuhnya ia mengantarku ke sebuah ruangan jauh dari lobby utama.
"Ia disana. Kau, untuk apa mencarinya?" tanyanya.
"Kau murid terpandai di universitas ini, kan? Dan kau bahkan tak tahu untuk apa kedatanganku ke sini?" tanyaku sinis.
Dia tersentak. "Maafkan kesinisanku. Aku selalu seperti itu saat bertemu orang baru."
Aku mengangguk tanda mengerti. "Baiklah, aku masuk."
Ia pergi meninggalkanku.
Aku mengetuk pintu. "Permisi. Saya mencari Jason Savarion."Aku membuka pintu selebar mungkin dan tak ada seorang pun disana. Ternyata itu stadion olahraga. Aku masuk dengan berhati-hati. "Permisi. Sa--"
Kata-kataku terpotong begitu saja saat melihat seseorang terkapar disana.
Mataku membelalak. Jantungku berdebar.
"Ka-kamu, kenapa?" tanyaku sedikit histeris. Aku menghampirinya. Dia.... dia.... kesulitan bernapas!
Oh, astaga! Apa yang harus kulakukan? Bagaimana ini? Bagaimana? Aku mengambil ponselku dan.... aku tetap tak tahu harus bagaimana.
Aku tak membawa peralatan kedokteran hari ini karena kukira hari ini hanya untuk bertemu dengan orang yang bernama Jason Savarion itu. Tapi ternyata tetap saja ada yang membutuhkan seorang dokter, tepatnya calon dokter.
Kulihat dia masih kesulitan bernapas. Aku menarik napas dalam-dalam dan menenangkan pikiranku.
Aku masih menatapi orang tersebut tanpa memberitahu orang lain bahwa sekarang ia sedang berjuang. Aku--calon dokter hingga satu-dua tahun lagi--berusaha mencari dimana tasnya berada.
Aku melihat tas di ujung stadion dan menghampirinya. Aku membongkar tas itu dan mendapatkan obat asma.
Spontan, aku menyuruhnya untuk meminum obat yang telah kuambil. Secara perlahan, ia mulai bernapas teratur. Ia mengambil posisi duduk di tengah lapangan dan aku mengikutinya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku.
"Lebih baik," katanya. "Siapa kau? Aku tak pernah melihatmu disini."
"Aku Kayla Collins, mahasiswi universitas di ibu kota. Aku diberi tugas oleh dosenku untuk menemui seseorang bernama Jason Savarion. Oh, entah kenapa namanya indah sekali," jelasku. Matanya menatap mataku.
Oh Tuhan, kenapa aku selalu berbicara melantur?
"Maksudku, apakah kau mengenalnya?"
"Ini aku." Ia menepuk-nepuk dadanya. "Terima kasih sudah menolongku. Hal ini bukan sekali atau kedua kalinya terjadi." terangnya. "Jadi, kenapa kau ingin menemuiku?"
Apa? Orang ini, Jason Savarion?
"Baik. Ini surat dari Mrs. White. Mohon dibaca." kataku seraya memberinya surat.Ia membacanya dengan saksama. Aku memperhatikan sekeliling stadion itu dan perhatianku hanya tertuju pada tiang basket.
"Em.... Apakah aku boleh meminjam bola basket disini?" tanyaku hati-hati.
Ia menatapku. Oh Tuhan, mengapa warna matanya indah sekali? "Tentu. Ada di ujung stadion. Kau boleh meminjam milikku. Dan sampai hari ini hanya kau yang boleh meminjamnya karena aku berhutang budi padamu telah menyelamatkan nyawaku."
Aku bisa merasakan pipiku panas. Lalu aku menghampiri ujung stadion dimana bola basketnya berada. Lalu aku memantul-mantulkan bola itu ke lantai, dan aku selalu melakukan travelling berulang kali. Itu karena sudah lama sekali aku tak bermain basket. Lalu aku lompat dan strike! One point. Aku menghela napas.
"Hei," sahutnya. "Kau bisa bermain basket?"
Aku mengangguk. "Dulu, aku sering bermain basket." Dia mengangguk, memahaminya.
"Omong-omong, masalah Mrs. White, aku tak tahu bisa apakah bisa mengikutinya atau tidak. Pasalnya, saat itu, aku harus memeriksa tubuhku secara rutin agar tidak terjadi kejadian seperti tadi. Aku ingin penyakit ini cepat pergi dari tubuhku."Aku memahami keadaannya. "Nanti akan kuhubungi Mrs. White. Baiklah kalau begitu. Kalau ada perubahan rencana, telepon saja ke nomor ini. Aku pergi dulu," kataku sambil menyerahkan kartu namaku.
"Tunggu. Mengapa kau tahu aku ada disini?" tanyanya. "Ini ruangan dimana seluruh kegiatan pribadiku berjalan."
"Oh, aku tahu dari mahasiswi bernama Soraya Peterson," jelasku. Ia kelihatan bingung."Oh, astaga. Jangan pernah menyebutkan namanya lagi di depanku," katanya memberi arahan. Aku mengangguk.
"Baik, aku pergi." Lalu aku meninggalkannya di stadion seorang diri. Saat kubuka pintu stadion, Soraya berdiri di depannya. Tatapan matanya lebih sinis daripada tadi saat kami pertama kali bertemu."Ada apa kau dengannya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MOON, MAGIC, AND YOU
De TodoHIATUS (dimungkinkan tidak diupdate lagi) --- Semuanya berawal ketika seseorang mengubah takdir kehidupan Kayla Collins yang tadinya biasa saja menjadi luar biasa dikarenakan Kayla harus membunuh orang yang mengubah takdir kehidupannya. Saat inilah...