BAB 1

55.4K 2.7K 160
                                    

Bogor

Seperti baru kemarin rasanya kami berhasil meloloskan diri dari acara wajib setiap awal tahun ajaran baru Masa Orientasi Siswa (MOS). Aku tidak pernah menyukai acara yang sekarang menjadi ajang balas dendam kakak kelas terhadap junior polos tak berdaya. Dan MOS adalah salah satu ajang anggota OSIS untuk menarik perhatian anak baru, ada 3 jenis anak murid yang biasanya menjadi incaran OSIS. Pertama, anak yang cantik atau ganteng. Kedua, anak murid yang layak ditindas karena tak bisa dikecengin (ini sih jenis aku) dan yang ketiga, anak murid jenis aneh, pelawak yang bisa mengundang gelak tawa anggota OSIS. Pokoknya aku tidak pernah suka para anak OSIS dan MOS. Selain aku suka yang biasa-biasa saja, masa MOS yang pernah kulalui saat SMP tidak begitu baik.

Hari ini adalah hari terakhir ulangan blokku (mungkin semacam ujian sebelum UTS). Ah, merepotkan sekali sekolah di sini memiliki jenis-jenis ulangan yang semakin membuatku tidak minat sekolah.

Aku tidak munafik untuk mengakui aku tidak suka belajar dan sekolah. Bukannya tetap bersekolah di Indonusa (seharusnya aku sekolah di SMA Indonusa Jakarta) aku malah diboyong ke kawasan kota hujan, Bogor, yang lumayan lebih adem ini, maklum kota hujan, demi menyatukan aku dan Vanka (saudara kembarku yang super mempesona dan lembut). Mamaku tak punya komitmen bisa bolak-balik Jakarta-Bogor hanya demi putri kembarnya ini.

Beberapa bulan yang lalu, beliau tak bisa meninggalkan bisnis di Jakarta, sekaligus Vanka, yang karena suatu alasan mamaku menempatkan dirinya bersama papaku di kota ini sedari dia lulus SD (kita satu SD Indonusa).

Sepeninggal papa, Vanka harus di Bogor sendirian. Sekarang mama lebih memilih bekerja di bagian pemasaran via daring salah satu usaha temannya di Bogor.

Aku memandang langit kota hujan yang mendung dengan kaca mobil setengah terbuka alhasil air hujan turun ke dahiku mengalir lembut melalui bibirku, aku sangat menyukai hujan apalagi wangi saat hujan turun membasahi tanah gersang, wangi itu sangat membuatku nyaman dan melambungkanku ke langit ke-7. Fenomena itu disebut petrichor, bahkan aromanya sudah tersedia dalam bentuk parfum, dan fenomena ini sudah jarang aku rasakan. Meski aku sangat suka hujan dan rasanya aku seperti tidak bersyukur jika berani mengumpat soal pagi hari yang hujan ini, masalahnya pagi ini aku sedang tidak fit. Dua minggu dijejali ulangan blok, dan aku sedang menstruasi hari pertama, yang rasanya lagi betein banget membuat kita sehari aja jadi monster bagi orang lain. Emosian.

Lamunanku terhenti berganti menjadi raut wajah kesal tatkala Vanka yang duduk di sampingku tiba-tiba mengulurkan tangannya yang kecil dan halus memaksa menutup kaca jendela mobil dengan menekan tombol otomatisnya lalu mengomeliku.

"Lo kan lagi meriang, Tha, jangan buka jendela makin dingin, lo juga parah banget nggak pake blazer malah pake rompie tipis gini." Namanya Vanka. Lengkapnya Jovanka Putri, dia adalah saudara kembarku.

"Gue nggak pernah suka pake blazer tahu." Aku sandaran di kursi mobil sambil menikmati pemandangan kedaerahan yang hanya bisa aku nikmati saat dalam perjalanan.

"Ma, Nantha nggak pernah nurut sama peraturan sekolah tuh." Adu Vanka dengan nada manis. Aku mencibir lalu menerling ke arahnya, Vanka kemudian tertawa sambil menunjuk-nunjuk wajahku. "Lo mau kompakan ya sama si Ray anak kelas 10-3 itu?"

Mama yang fokus menyetir cuma melirik kami lewat spion tengah sepertinya fokus mama menghilang saat sebuah nama cowok disebut-sebut oleh Vanka, anehnya nama itu selalu buat wajahku panas dan sakit perut.

Ray itu anak kelas 10-3 yang anehnya menjadi cinta pertamaku. Namun, apa daya Ray lebih menyukai si mempesona Jovanka Putri daripada si cupu Jonantha Putri. Aku tidak tahu hubungan apa yang mereka jalani, pokoknya Ray selalu memberikan seluruh perhatian dan cintanya pada Vanka.

EntangledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang