BAB 34

10.7K 1K 13
                                    

Kabar penangkapan Hani Mentari tersebar di sekolah dan menjadi topik terpanas di sekolah kami. Ternyata cewek yang terlihat baik-baik dan manis itu adalah dalang di balik semua teror yang terjadi di sekolah ini atas perintah pengusaha terkenal Pak Zidan agar sekolah ini ditutup dan tanahnya bisa dibeli untuk menjalankan proyek besarnya itu. Hari Minggu kemarin aku melihat di berita televisi mengenai penangkapan Pak Zidan yang kabur ke luar kota sejak Hani tertangkap Sabtu malamnya.

Aku sedikit lega teror itu berakhir juga semoga sekolah ini menjadi nyaman sekarang. Meski misteri Madam Dania Harry belum terkuak juga, tapi Hani berhasil membuat madam tersebut benar-benar ada selama hampir 3 tahun. Ya betul, penebar rumor Madam Dania Harry itu dia buat sejak masuk ke sekolah ini. Kemarin setelah kami pulang dari kantor polisi aku dan Sandra menjenguk Shilla, Ron, Bintang kemudian Joe di rumah masing-masing.

Saat di rumah Joe aku menghubungi Nino, menanyakan apa kami boleh ke rumahnya berhubung kami tidak tahu di mana alamat rumahnya.

Nino mengatakan sedang tidak ada di rumah, jadi kami membatalkan rencana itu. Sandra dan Joe tidak tahu di mana rumah Nino meski sudah berteman agak lama, atau aku tanya Satrio saja? Cowok itu kan teman bermain Nino, pasti tahu alamatnya, tapi di mana rumah Satrio ya? Akan kucari tahu lewat buku tahunan SMP setelah pulang sekolah nanti.

"Ssst, jadi gimana?" Sandra menyedot susu kotak, saat ini kami duduk berduaan di halte area depan sekolah.

"Teman SMP gue kenal sama Nino, nanti gue cari tau dulu alamatnya di buku tahunan. Siapa lagi yang belum kita jenguk?"

"Mau ke rumah gue aja? Menjenguk Papa gue? Gue nggak enak deh sama Hana, dia semakin merasa bersalah gitu. Tapi gue lega dia ingin berteman sama gue lagi." Sandra nyengir. "Gue lega banget semua udah berakhir."

"Boleh tuh." Aku tersenyum kecil. "Pengen ngobrol banyak sama Papa lo. Kasihan juga dia, karena kakaknya yang jahat itu, dia ikutan dibully dan dicap jelek. Hari ini dia belum masuk sekolah juga."

"Meski harus ada kejadian yang jelek dulu ya baru kita bisa grow-up? Hehe. Eh-eh!" Sikutan dari Sandra menyodok lenganku sambil mengendikkan dagu, aku mengikuti arah pandangannya.

Sebuah mobil menepi di depan sekolah kami, Yunda masuk setelah dibukakan pintu oleh seorang cowok yang tak asing lagi bagiku. Sosok itu bertubuh tinggi, besar, putih, berambut spike, dia tersenyum saat pandangan kami bertemu.

Tidak mungkin...

"Cowok yang sama Yunda ganteng bangeeeet!" pekik Sandra terhipnotis.

Aku menganga tak percaya, bagaimana bisa Ray bersama Yunda? Sori, seharusnya pertanyaanku bagaimana bisa Yunda mengenal Ray?

Kalau begitu cowok yang di auditorium Sabtu malam adalah Ray yang menemani Yunda. Entah aku harus senang atau sedih, senang karena Ray sedang mencoba move-on dari saudara kembarku yang tidak akan pernah bisa kembali ke dunia lagi, dia layak mendapat kehidupan yang lebih baik dan bahagia. Atau harus sedih, karena dia move-on ke Yunda, orang yang sudah aku anggap dekat, dia sangat mempercayai rahasia terbesarnya ke aku. Memang tipe cewek cantik, lembut, dan fashionable-lah yang cocok bersama Ray. Selera cowok itu memang yang seperti itu, jelas bukan aku.

"Ray," gumamku pelan tak sadar.

Sandra mendongakkan kepala memandangiku. "Lo kenal?"

Aku tersenyum kecil, tidak sekedar mengenalnya, bahkan aku menyukainya. Tapi, aku tidak bisa mengatakan itu pada Sandra. Aku tidak bisa bilang dialah cowok impianku sejak pertama kali jatuh cinta.

"Cowok yang lo sebut waktu itu mungkin tuh cowok ya, dan lo udah ketemu dia duluan. Dasar curi start. Lo udah melihat dia duluan, kan?"

"Mana gue tau, dia pake topeng," sahutku dingin, mataku mengekor kepergian mobil itu dengan hati bagai dihujam ribuan paku payung. Sakiiiit banget.

EntangledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang