Chapter 4

76 23 13
                                    


Aku membuka mataku perlahan berusaha menahan serangan beban berat yang berasal dari kepalaku. Putih. Buram. Kukerjapkan mataku yang masih belum sepenuhnya terbuka untuk menghilangkan buram pada mata ini. Aku berusaha tenang ketika aku merasakan tangan seseorang sedang memegang erat tanganku yang masih terkulai lemah. Kepala seseorang terlihat berada tepat di atas ku. Ketika benar-benar mataku telah berfungsi, pandangan buram tadi telah berganti dengan sesosok lak-laki. Sesosok laki-laki dengan wajah tegas. Manik mata hitam legam seakan menatapku tajam penuh harap. Bentuk wajahnya yang terkesan gentle, hidung mancung, dan gaya rambut angular penambah kesan cool yang lebih pendek dari biasannya dan sedikit messy di atasnya namun tertata, membuat aku sedikit berjengit bangun dan berusaha menghindarinya. Namun, mataku tidak beralih dari menatapnya.

"Udah sadar? Kamu gak papa kan? Ada yang dirasa sakit? Ada perih di kaki? Kukira waktu kau jatuh tadi ada luka juga. Mau aku ambilkan minum? Atau obat pusing? Kurasa kepalamu belum sepenuhnya sembuh. "

Serangan pertanyaannya hanya kulengkapi dengan anggukan perlahan. Sebenarnya aku tidak begitu mendengarkan lemparan pertanyaan bertubi-tubi itu. Aku sedari tadi hanya menerka-nerka wajahnya berulang kali, mencoba mengingat-ingat siapa dirinya. Apakah aku pernah mengenalnya.

Ah, kurasa tidak. Namun, siapa dia?

"Oh, tenang aja. Aku Redo. Redo Herdiawan kelas XI IPA 2. Kamu tadi waktu hukuman lari tiba-tiba pingsan. Yaudah deh, aku bawa ke UKS. Udah enakan?" Pertanyaanku sudah terjawab mulutku tergerak untuk menanyakannya.

Redo Herdiawan XI IPA 2.

Tapi, pingsan waktu hukuman lari?

Tidak!

"Kayaknya aku harus ke lapangan dulu deh. Aku belum lari soalnya. Duh, kurang berapa kali putaran ya? Aduh, kalo kena marah sama senior gimana coba?"

Dengan perasaan terburu-buru, aku mulai menuruni bed yang masih terduduk laki-laki yang katanya bernama Redo itu di sisi samping bed yang otomatis tubuhnya menghalangi gerak serampanganku.

"Hei, mau kemana? Kamu masih sakit. Liat, mukamu masih pucet gitu mau nglanjutin lari? Gila! Udah deh, gapapa larinya bisa entaran. Yang penting kamu sehat duluan." Cegahnya mencengkram kuat kedua lenganku dengan tangan khas lelakinya. Aku terfokus pada hal yang dilakukannya. Melihat dia melakukan itu saat pertama kali bertemu, tanganku segera menolak cengkramannya dan segera berjalan menuju pintu UKS senada dengan warna bed yang ada.

Emang siapa dia? Eh, pegang-pegang.

"Enggak. Aku harus kesana."

Tidak peduli apapun, aku segera menyambar tas karung berasku yang berada di samping laki-laki itu. Bukan, maksudku Redo. Aku mengambil tas karung tepat berada di hadapannya dan tak sengaja aku menatap wajahnya. Dan parahnya wajahnya juga ternyata sedang menatapku.

Bola mata hitamnya bergetar, menandakan rasa sesuatu yang entah aku tidak bisa memahaminya. Seakan terhipnotis oleh pandangannya, aku menatapnya begitu lama. Aku bisa merasakan sentuhan nafas lembutnya menerpa mulutku. Dan entah apa yang diinginkan tubuhku ini, jantungku mulai berdetak hebat. Keringat di punggung leherku mulai terproduksi dengan perlahan. Aku kira, wajahku dan dia hanya berjarak 3 cm.

Prang! Prang! Klotak!

Aku tersadar ketika barang-barang dalam tas karungku berjatuhan karena ternyata aku mengambilnya dalam posisi terbalik. Mataku terkejap beberapa kali dan kembali fokus pada barang-barang berhargaku walaupun masih menyisakan detakan jantung yang begitu hebat dan keringat dingin yang aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku segera berjongkok dan memungut barang-barang berharga ini karena jika tidak kuselamatkan akan mendapat hukuman tambahan lagi dan lagi. Entah kenapa tiba-tiba Redo terbatuk-batuk yang seakan dibuat-buat menurut pendengaranku. Aku tetap tak acuh sembari mengembalikan barang-barangku ke posisi semula.

WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang